024

993 98 15
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Winta terbangun dengan perlahan, sinar matahari yang masuk melalui jendela kamarnya membuat matanya sedikit menyipit. Dia duduk sebentar di atas kasur, menarik napas dalam-dalam, kemudian menghela napas panjang. Pikirannya masih kabur, namun satu hal yang jelas: semalam dia mengantar Asya pulang, dan pada akhirnya, hubungan mereka benar-benar sudah berakhir. Keputusan itu bukan lagi sesuatu yang menggantung di antara mereka, tidak ada lagi harapan yang mengambang di udara.

Winta merasakan perasaan kosong di dadanya. Bukan karena dia tidak tahu ini akan terjadi, tapi lebih karena kenyataan yang baru saja disahkan—bahwa tidak ada lagi dirinya dan Asya. Mereka pernah menjadi bagian penting dalam hidup satu sama lain, tapi sekarang, garis itu sudah diputuskan. Ia tidak tahu pasti bagaimana harus merasa. Di satu sisi, ada sedikit kelegaan karena semuanya akhirnya jelas. Di sisi lain, ada perasaan kehilangan yang sulit diabaikan.

Dia berusaha menenangkan dirinya, mencoba berpikir dengan hati yang lebih ringan. Ini bukan akhir yang ia inginkan, tapi mungkin ini yang terbaik untuk mereka berdua.

Dengan gerakan pelan, Winta melangkahkan kakinya dari ranjang dan berdiri, dia berjalan menuju kamar mandi di sudut ruangan.

Di kamar mandi, dia membuka keran air dan membiarkan air hangat mengalir ke telapak tangannya. Winta menatap pantulan dirinya di cermin sejenak, melihat wajah yang tampak lelah, lalu memercikkan air ke wajahnya, mencoba menghapus rasa kantuk yang masih tersisa.

Setelah beberapa saat, Winta melepaskan pakaiannya dan masuk ke dalam pancuran. Air mengalir deras di tubuhnya, seolah-olah mencoba mencuci bersih perasaan bimbang yang masih menempel. Winta memejamkan mata, merasakan air yang jatuh membasahi tubuhnya, memberinya sedikit ketenangan di tengah kekacauan pikirannya.

Setelah selesai, Winta membalut tubuhnya dengan handuk, lalu melangkah menuju lemari pakaian. Dia memilih kaos dan celana santai. Setelah itu keluar dari kamar dengan langkah pelan.

Winta berjalan melewati ruang tamu dengan pandangan kosong, hingga akhirnya pandangannya tertuju pada Ara, kucing kecil itu tengah bermain sendiri di sudut ruangan. Ara tampak asyik mengejar sesuatu—bola kecil yang mungkin sudah berputar berkali-kali di sekitar lantai.

Perlahan, Winta mendekatinya dan berjongkok tepat di depan kucing kecil itu. Dia memperhatikan gerakan lincah Ara yang sesekali melompat dengan kakinya yang kecil. Bola kecil itu menggelinding lagi, dan Ara mengejarnya dengan semangat, cakar-cakarnya mencakar udara, sementara ekornya bergerak cepat mengikuti setiap langkah.

Sebenarnya, Winta ingin menyentuh Ara, ingin merasakan bulu lembutnya di ujung jarinya, tetapi ada rasa takut yang tertahan di dadanya. Ia khawatir kalau Ara akan bereaksi kasar, mungkin mencakar tangannya jika dia tidak hati-hati. Jadi, dia memilih untuk hanya menatapnya dari jauh, sesekali tersenyum kecil saat melihat tingkah lucu kucing itu.

Between Us | Winrina ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang