016

1K 101 9
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


.
.
.
.
.

[Warning! full berantem]

.
.
.
.
.


Pikiran Winta terus berputar-putar. Di kepalanya, gambar Agas yang mengelus tangan Asya di restoran tadi siang tidak bisa hilang. Setiap kali terbayang, perasaannya semakin tidak karuan. Dia tahu hubungannya dengan Asya sudah berada di ujung tanduk, tapi melihat itu—melihat Asya bersama orang lain membuatnya merasa hancur. Amarah yang terpendam semakin membuncah. Malam ini, tanpa memikirkan apapun lagi, Winta memutuskan untuk mendatangi rumah Asya.

Rumah Asya tampak sepi saat Winta tiba. Tidak ada tanda-tanda kehidupan selain cahaya lampu yang redup di ruang tamu. Winta mengetuk pintu beberapa kali, awalnya merasa ragu. Ia mengira mungkin Ibu Andin yang akan membukakan pintu dan, seperti biasanya, memaki-makinya karena melukai Asya. Tapi kali ini berbeda. Ketika pintu terbuka, yang muncul di hadapannya adalah Asya.

Winta langsung menerobos masuk tanpa menunggu izin, menutup pintu dengan keras hingga terdengar suara benturan yang menggema. Tangannya bergerak cepat mengunci pintu, seakan-akan dia ingin memastikan bahwa malam ini, tidak ada yang bisa mengganggu mereka.

Asya mundur beberapa langkah ke belakang, terkejut melihat Winta yang marah seperti itu. Wajahnya mencoba tetap tenang, meskipun hatinya mulai diliputi kekhawatiran. Hanya mereka berdua di rumah malam ini, dan meski Asya selalu bisa melawan, kali ini dia tahu Winta benar-benar kehilangan kendali. Tetapi, Asya berusaha tidak terlihat lemah. Dia menegakkan tubuhnya, menatap Winta dengan dingin.

"Ngapain lagi kamu kesini?" Asya mencoba bersikap tegas, meskipun suaranya terdengar sedikit goyah.

Winta mengacuhkannya, maju beberapa langkah hingga jaraknya hanya beberapa inci dari Asya. "Kamu beneran ada hubungan sama Agas, kan?!" bentaknya, matanya menyala dengan kemarahan dan cemburu yang meluap.

Asya mengerutkan kening, tapi dia tidak mundur lagi. Dia sudah terbiasa menghadapi Winta yang emosian, tapi kali ini ada sesuatu yang lebih tajam dalam pertanyaan itu—sesuatu yang membuatnya sedikit gentar.

"Kenapa kamu selalu mikir kayak gitu sih, Win?" Asya balik menantang, suaranya mulai meninggi. "Mau berapa kali aku bilang ke kamu kalau Agas itu cuma rekan kerjaku?"

Winta mencengkeram tangannya sendiri, penuh frustasi. "Kamu kira aku bodoh, Asya? Rekan kerja tapi pegangan tangan begitu?"

Asya tidak mau kalah, suaranya semakin keras. "Kalau gitu, gimana dengan kamu? Kamu juga pegang tangan Karina tadi di restoran!"

Vas bunga di samping Winta tiba-tiba hancur berkeping-keping saat tangan Winta yang kuat memukulnya dengan keras. Suara dentingan pecahan kaca bergema di ruangan, menyelimuti suasana dengan aura kelam yang belum pernah terlihat sebelumnya. Asya langsung terpaku. Matanya membelalak, tubuhnya menegang, sementara rasa takut mulai menjalar perlahan dalam dirinya. Dia tahu Winta bisa marah, tetapi tidak pernah seperti ini—tidak pernah sampai sebrutal ini.

Between Us | Winrina ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang