007

797 77 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Winta melangkah keluar dari lift dengan langkah cepat, memasuki kantornya. Sesaat setelah dia melintasi pintu kaca besar di area resepsionis, Prima muncul, dengan senyuman lebar dan semangat yang terlalu mencolok untuk pagi hari.

"Pagi, bos!" Prima menyapanya dengan nada sedikit menggoda, tangan terangkat memberi salam. "Gimana rasanya jadi pengantin baru, huh?"

Winta hanya menatapnya sekilas. Tanpa kata, tanpa senyuman. Terlihat jelas kalau dia tidak ingin membahas pernikahannya. Prima, yang sudah mengenalnya cukup lama, mengerti bahasa tubuh itu dengan cepat. Tanpa menunggu jawaban, dia mengangkat kedua tangannya dengan ekspresi pura-pura menyerah.

"Oke oke. Langsung ke ruang rapat aja ya? Semua udah nunggu."

Winta mengangguk kecil, kemudian melangkah mengikuti Prima menuju ruang rapat. Di sepanjang jalan menuju sana, mereka berdua tidak saling bicara. Ruang rapat terletak di sudut gedung, di balik dinding-dinding kaca besar yang menawarkan pemandangan kota di luar. Saat mereka masuk, para anggota tim sudah duduk menunggu.

Winta duduk di ujung meja, membuka laptopnya, dan bersiap menyimak presentasi tim project manager. Mereka sudah bekerja selama beberapa bulan terakhir untuk proyek ini, dan hari ini mereka akan memaparkan rencana lengkapnya.

Prima memulai, suaranya terdengar tegas dan jelas di ruangan itu. "Seperti yang kalian lihat di sini," katanya sambil menunjuk ke diagram proyek yang terpampang di layar besar. "Renovasi fondasi ini penting, terutama supaya bangunan ini bisa tahan lama. Tim udah nemuin beberapa area yang rawan, dan ini perlu pengawasan lebih."

Saat diskusi teknis proyek berlanjut, Winta berusaha keras untuk fokus. Mereka sedang membahas renovasi besar-besaran pada sebuah gedung perkantoran, salah satu proyek terbesar yang pernah ditangani perusahaan mereka. Seharusnya, ini adalah momen yang membuatnya bersemangat—tapi, semua terasa hambar di kepalanya.

Wajah Karina yang ketakutan, suara lembutnya meminta maaf. Itu membuat Winta merasa aneh, campuran antara rasa bersalah dan frustrasi. Dia tidak terbiasa melihat orang lain takut padanya, apalagi Karina, yang seharusnya tidak perlu merasakan itu. Tapi perasaan itu segera dia tepis. Dia tidak ingin terjebak dalam perasaan yang akan merusak fokusnya di pekerjaan.

Setelah menarik napas panjang, Winta mencoba menenangkan pikirannya lagi, dia memaksa dirinya kembali ke ruangan itu. Presentasi hampir selesai, dan semua mata di ruangan tertuju padanya, menunggu tanggapannya.

"Gimana dengan anggarannya?" Winta mengalihkan fokus ke laporan keuangan di tangannya. "Kita pasti butuh biaya tambahan untuk supervisi ekstra ini, kan?"

Salah satu manajer keuangan, seorang pria dengan jas abu-abu yang duduk di seberang meja, mengangguk. "Benar, Bu Winta. Biaya supervisi tambahan akan menambah sekitar lima persen dari total anggaran. Tapi kalau melihat potensi masalahnya, ini langkah yang tepat untuk memastikan proyek ini nggak mundur lebih jauh."

Between Us | Winrina ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang