026

989 98 15
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Semenjak kejadian di rumah beberapa hari yang lalu, hubungan keduanya semakin mendalam, Winta nampak sudah tidak terlalu kaku dan dingin, dan Karina mulai terbiasa dengan itu. Kini, Winta berdiri di lorong toko hewan dengan ekspresi kusut, menghela napas dalam-dalam sambil menyesuaikan tas kucing yang disandangnya di pundak. Ara, kucing berbulu abu itu, duduk dengan tenang di dalam tas, seolah tak peduli pada kerepotan Winta. Sementara itu, Karina terlihat sibuk memilih beberapa cup makanan kucing, memperhatikan label dengan teliti dan mengambil satu per satu untuk membandingkannya.

"Ini kita masih lama nggak, sih?" Winta mengeluh sambil melirik jam tangannya. Nada suaranya terdengar jengkel, namun tidak sampai marah. "Udah mau sejam loh kita di sini."

Karina yang baru saja memasukkan beberapa cup makanan ke dalam keranjang belanja, menghadap ke arah Winta. Ia tersenyum tipis, lalu mengelus tangan perempuan itu dengan lembut, menenangkannya seolah Winta adalah orang yang perlu ditenangkan di tengah-tengah tugas belanja kebutuhan kucing mereka. "Sabar, aku nggak bisa pilih makanan sembarangan." ujarnya. Sentuhan Karina membuat Winta mendengus kecil, tapi dia tetap menunggu dengan patuh, meskipun raut wajahnya menunjukkan ketidaksabaran.

Winta mendesah panjang lagi, mengalihkan pandangannya ke arah lain untuk menghilangkan rasa bosan yang kian mendera. Setiap beberapa detik, ia melirik Karina, yang masih asyik membandingkan jenis-jenis makanan kucing tanpa tergesa-gesa, bahkan seolah tak terpengaruh oleh protes halus yang dilontarkan Winta. Ara, dari dalam tas, sesekali menoleh ke luar, seolah turut menambah beban di pundak Winta dengan tatapan tajamnya yang diam.

"Serius deh, kita bisa ngabisin waktu seharian di sini kalau kamu baca kandungannya satu-satu begitu," tambah Winta dengan nada setengah mengeluh.

Karina tersenyum kecil, tak menanggapi keluhan Winta secara langsung. Ia malah mengambil satu cup makanan yang baru dan memasukkannya ke dalam troli, seakan sengaja tak memedulikan keluhan Winta.

Winta menghela napas sekali lagi. "Emang harus dipilih gitu, ya? Padahal kan makanan kucing sama aja rasanya." gumamnya pelan, lebih ditujukan pada dirinya sendiri, namun Karina tetap mendengar.

Karina menahan tawa kecil, tapi ia akhirnya mendekat dan mengusap bahu Winta pelan, seolah hendak menenangkannya lagi. "Kemarin aku beli makanan jenis lain, tapi Ara nggak makan banyak, emang kamu mau Ara nanti kena gizi buruk?"

"Ya enggak sih. Tapi, ya...," Winta beralasan, meskipun tak sepenuhnya yakin dengan alasan yang keluar dari mulutnya. Matanya menatap Karina dengan ekspresi setengah pasrah.

Ara mengeong pelan dari dalam tas, seolah ingin mengingatkan kedua 'orang tuanya' bahwa ia ada di sana, menanti dengan sabar meskipun mereka sibuk dengan obrolan mereka sendiri.

Karina kembali melangkah perlahan menuju rak aksesoris hewan yang berjajar di samping rak makanan. Matanya berbinar saat menemukan satu kalung berwarna merah dengan liontin kecil berbentuk bunga dandelion yang menggantung di bagian tengahnya. Jemarinya terulur, mengangkat kalung itu dan memperhatikannya lebih dekat, seolah-olah membayangkan betapa manisnya Ara akan terlihat mengenakan aksesori baru itu. Padahal, kucing mereka baru saja mengenakan kalung yang baru minggu lalu.

Between Us | Winrina ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang