012

808 76 4
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Winta terbangun dengan kepala yang terasa sangat berat. Sakit berdenyut di pelipisnya, efek mabuk semalam yang masih terasa kuat. Dia meraba-raba kepalanya, mengerang pelan, mencoba merangkai ingatan. Namun, semuanya kabur. Ia hanya mengingat dirinya minum banyak di bar dan Prima ada di sana. Selebihnya hanyalah potongan-potongan peristiwa yang tidak jelas.

Dengan langkah gontai, Winta bangkit dari tempat tidur dan berjalan keluar kamar menuju dapur. Begitu sampai di dapur, Winta mendapati Karina sedang berdiri di sana. Wajah Karina tampak tenang, namun ada sesuatu di tatapannya yang lain dari biasanya. Karina hanya berdiri di depan kompor, mengaduk panci kecil. Winta tidak terlalu memerhatikan. Tubuhnya masih terlalu lelah, dan pikirannya masih kosong.

Karina, yang merasakan kehadiran Winta, menoleh sejenak sebelum kembali menunduk. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Winta diam sebentar, hanya menatap Karina dalam kebisuan. Karina tidak bergerak banyak, hanya fokus pada apa yang sedang ia masak. Pemandangan itu membuat Winta sedikit tidak nyaman. Ada perasaan aneh yang menyelubunginya—perasaan yang tidak bisa ia jelaskan.

Dengan cepat, Winta membuka kulkas dan mengambil botol air dingin. Ia meneguk air itu dengan rakus, seperti mencoba menghilangkan rasa haus yang tak kunjung hilang. Setelah meneguk air hingga tersisa setengah, ia menutup botol itu dan meletakkannya di atas meja dapur.

Saat itu, pandangan Winta tertuju lagi pada Karina, "Prima yang bawa aku pulang semalam?" Tanyanya dengan suara serak.

Karina berhenti mengaduk panci, matanya menatap meja dapur di depannya, tidak langsung menatap Winta. "Iya," jawabnya pelan. Tidak ada nada tajam di suaranya, hanya sebuah keheningan yang sulit dijelaskan.

Winta mendengus pelan, rasa kesal yang samar muncul di dalam dirinya. Bukan karena Karina, tapi karena ketidakjelasan situasi ini. Kepalanya masih terasa berat, pikirannya kacau, dan ia tidak ingat apa yang sebenarnya terjadi semalam. Sebagian dari dirinya merasa ada sesuatu yang salah, tapi ia tidak tahu apa. Rasa tidak nyaman itu membayang-bayangi, seolah ada sesuatu yang terlewat, sesuatu yang mungkin penting.

Karina akhirnya menoleh lagi ke arahnya, kali ini dengan tatapan penuh perhatian. "Kamu makan dulu ya sebelum pergi kerja," katanya, suaranya tetap tenang. "Aku udah masak sup, mungkin kamu suka."

Winta terdiam, tidak segera menjawab. Ada jeda panjang antara mereka, dan dalam jeda itu, Winta hanya bisa merasakan perasaan yang berlapis-lapis—ada perasaan marah yang terpendam dalam dirinya. Sebuah kemarahan yang tidak ia ungkapkan, karena entah bagaimana, ia tahu Karina tidak sepenuhnya sadar akan apa yang terjadi.

Winta tetap merasa tertekan. Ada sesuatu dalam dirinya setiap kali melihat Karina. Meski ia tidak ingin melepaskan amarahnya pada perempuan ini, perasaan itu ada di sana, seperti api kecil yang menyala perlahan. Ia tahu tidak adil untuk melampiaskan semua ini pada Karina—ini bukan kesalahannya. Tapi rasa bersalah dan frustasi dalam diri Winta membuat semuanya terasa lebih sulit.

Between Us | Winrina ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang