014

808 72 13
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Winta memasuki rumah dengan langkah berat. Emosinya masih meluap-luap setelah pertengkaran sengit dengan Asya. Tidak lama pandangannya jatuh pada Karina yang tengah duduk di ruang tamu, fokus pada sketsa desain baru untuk butiknya. Winta menatapnya sekilas, sorot matanya tajam namun dalam diam.

Pikiran Winta bergemuruh. Semua kekacauan ini, semua konflik yang membebani hatinya, rasanya tidak akan pernah terjadi jika bukan karena pernikahannya dengan Karina. Hubungannya dengan Asya semakin tergerus oleh kehadiran Karina, dan itu membuatnya sakit hati. Tetapi, saat ia melihat Karina-duduk diam di sana, dengan tatapan lembut dan wajah yang selalu tampak tenang-ada sesuatu yang menghalangi Winta untuk meluapkan kemarahannya. Bukannya menegur atau mengatakan sesuatu yang tajam, Winta hanya berjalan melewatinya, memilih diam dan mengabaikan.

Saat Winta hampir sampai di kamarnya, suara lembut Karina terdengar dari ruang tamu, menghentikan langkahnya sejenak. "Aku udah masak," ucap Karina pelan namun jelas, matanya masih tertuju pada kertas di depannya. "Aku tanya ibumu, katanya kamu suka makan gulai. Kalau kamu mau, aku bakal siapin piring."

Winta berhenti, namun tidak menoleh. Beberapa detik ia diam di tempat, mendengarkan nada tulus dari suara Karina yang terdengar seperti sebuah usaha untuk menjembatani jarak di antara mereka. Tetapi, perasaan Winta masih terlalu campur aduk untuk merespon. Akhirnya, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Winta melanjutkan langkahnya menuju kamar. Pintu ditutup perlahan di belakangnya, menandakan akhir dari percakapan sepihak itu.

Di ruang tamu, Karina menghela napas panjang, menurunkan pensilnya. Matanya sedikit menggelap oleh rasa kecewa yang telah lama ia pendam. Karina sudah berusaha sebaik mungkin-mencoba mendekatkan diri, mengerti apa yang diinginkan Winta, dan memberikan ruang. Tetapi, tak peduli apa yang ia lakukan, Winta tetap menjauh.

Karina tidak pernah mengharapkan cinta dari Winta, tapi ia tidak bisa menghindari perasaan bahwa dirinya selalu tak dianggap. Setiap kali ia berusaha mendekat, selalu ada tembok besar yang Winta bangun di antara mereka. Dan itu membuat Karina merasa terasing di rumahnya sendiri.

Karina bangkit dari kursinya, melangkah pelan menuju dapur. Ia membuka panci berisi gulai yang sudah ia siapkan dengan sepenuh hati. Harapannya sederhana-bahwa mungkin dengan memasak makanan yang disukai Winta, ia bisa menyentuh hati perempuan itu, meski hanya sedikit. Tapi lagi-lagi, upayanya seperti jatuh ke jurang yang kosong. Winta bahkan tidak melirik apa yang sudah ia persiapkan.

"Lagian kenapa aku harus berusaha kaya gini?" Karina berbisik pada dirinya sendiri, matanya sedikit berkaca-kaca. Ia tahu jawabannya mungkin tidak akan pernah ia temukan. Winta terlalu terpaku pada Asya.

Di dalam kamar, Winta duduk di tepi tempat tidurnya, memegang kepalanya yang masih berat. Pertengkarannya dengan Asya terus terngiang di pikirannya. Sambil merenung di kamarnya, Winta merasakan ada perasaan aneh yang menjalari hatinya. Setiap kali ia melihat Karina, ada sesuatu yang tidak bisa ia pahami.

Between Us | Winrina ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang