"Bisa gak sih lo kasih koran yang bener, masa terbitan tahun 1989 malah kesasar kesini"
"Maafin saya, mungkin kalau kamu mau diganti korannya bisa datang ke tempat tinggal saya lain kali"
Bandung dengan keramaian kotanya, dengan seseorang wanita Jak...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
. . . . . . . . . .
-26 Oktober 1994
Tringgg
Bel istirahat berbunyi, Nara mengambil sekotak bekal makanan dari tasnya, bekal hari ini cukup spesial, ibu hari ini membawakan Nara ayam yang besar! Nara Hendak membuka tutup kotak bekalnya itu, cukup susah dibukanya sepertinya ibu menutupnya terlalu kencang...
"Arya... kamu kesini." Belum sempat kotak bekal itu terbuka, seorang guru mengalihkan atensinya, ia melempar pandang kearah suara tersebut, bangun dari tempat duduknya lalu melangkahkan kaki menuju meja guru.
"Kamu sendiri aja Arya, temen kamu kemana?" Gurau gurunya mulai membuka sebuah obrolan dengan basa-basi seperti pada umumnya.
"Saya makan dikelas pak, temen saya pergi ke kantin." Jawab Nara tersenyum kepada gurunya sambil menunjuk bekal yang ditaruhnya di atas meja.
"Oh... tumben, biasanya ke kantin." Timpal gurunya yang membuat Nara sedikit terkekeh, benar kata gurunya, dirinya memang tak pernah ke kantin, semenjak finansial keluarganya memburuk, ia mengerti tentang itu dan hanya membawa bekal kesekolah, alih alih merengek kepada orang tuanya. Dirinya sudah cukup dewasa untuk menyikapi hal tersebut.
"Udah ya pak ee-e saya makan dulu." Gugup Nara langsung berbalik badan menuju mejanya, hendak memulai makan siangnya.
"Arya, kita belum selesai" Ujar guru itu cukup tegas membuat Nara tak jadi menuju mejanya, ia cukup tertekan dengan suasana obrolannya dengan gurunya, jantungnya berdegup cukup kencang.
"Kenapa pak?"
"Makan disini, ada beberapa hal yang mau bapak omongin." Ucap guru tersebut sambil mengambil satu bangku dari meja murid, bangku itu ia taruh berhadapan dengan bangku meja gurunya, membuat posisi duduk yang bersebrangan.
Nara meneguk air liurnya secara kasar, ia hanya mengangguk beranjak menuju mejanya itu, mengambil sekotak bekalnya.
"Anu... pak, duduk disini?" Tanya Nara dengan gugup sambil menunjuk bangku itu. "Harusnya kamu tau dong duduk dimana." Jawab gurunya dengan nada yang cukup tinggi, membuatnya semakin bergidik ngeri, tatapan guru tersebut benar-benar tajam mengarah padanya.
Nara duduk dibangku yang disediakan, menaruh semua bawaannya yaitu kotak bekalnya dan sebotol air minum yang ia bawa dari rumah, tanpa menatap guru itu sekalipun, pasalnya sedari tadi ia sudah merasakan hawa ketegangan dari tatapan gurunya tersebut.
"Arya, nilai kamu ini bagus... Cukup tinggi." Nara tersenyum lega kabar baik dari gurunya, menghela nafasnya panjang. Mungkin obrolannya kali ini tak terlalu berat seperti yang ia kira.
"Tapi, sayang sekali, finansial kamu lagi buruk ya Arya." Lanjut guru tersebut menatap Nara secara intens, menunggu sebuah jawaban dari Nara. Nara yang mendengar hal tersebut cukup ternganga, dirinya tak pernah memberi tahu siapapun perihal finansial keluarganya tersebut, apalagi memberitahunya kepada guru itu.