BAB 2, SOMETHING MISSING

6 1 0
                                    

Pada hari kedua setelah ia tinggal di istana, Luna akhirnya mengetahui bahwa pelayan yang selalu menemani dan membantunya sejak awal bernama Marry. Marry telah diutus menjadi pelayan pribadinya sejak hari pertama ia tiba di istana tersebut, dan Luna mulai merasa lebih nyaman dengan keberadaannya. Meski begitu, di balik segala kenyamanan dan kemewahan yang perlahan ia mulai nikmati sebagai seorang putri, Luna masih merindukan kehidupannya yang lama—terutama dua sahabat terbaiknya, Meiske dan Abelia.

Luna sering bertanya-tanya dalam hati, "Apa kabar mereka sekarang? Apakah mereka merasakan ketidakhadiranku? Apakah liburan semester sudah dimulai, atau sudah ada hal baru yang mereka pelajari di kelompok musik kami?"

Marry, yang selama ini dengan penuh perhatian merawat Luna, sepertinya bisa merasakan kesedihan itu. Suatu sore ketika mereka sedang duduk di taman istana yang indah, Luna termenung sambil mendengarkan gemericik air mancur. Marry duduk di sampingnya, tak berusaha mengganggu tapi memberikan kehangatan lewat kehadirannya. Setelah beberapa saat, Marry berkata dengan lembut, "Yang Mulia, saya bisa melihat Anda merindukan kehidupan Anda yang dulu."

Luna tersenyum tipis, meski ada kesedihan dalam suaranya. "Ya, aku memang merindukan mereka. Meiske dan Abelia... kami selalu bersama. Aku bahkan tidak sempat mengucapkan selamat tinggal."

Marry tersenyum lembut, mencoba menghibur. "Mungkin suatu hari nanti, Anda bisa mengundang mereka ke istana. Mereka pasti akan sangat bahagia melihat sahabat mereka menjadi seorang putri."

Luna tertawa kecil, membayangkan bagaimana Meiske dan Abelia bereaksi jika tahu ia tinggal di istana megah ini. "Mereka pasti akan terkejut," gumamnya.

Marry pun menambahkan, "Sementara itu, Yang Mulia, ingatlah bahwa istana ini sekarang adalah rumah Anda. Meski hidup Anda berubah, tidak berarti Anda harus melupakan masa lalu. Keduanya bisa saling melengkapi, seperti dua nada yang menciptakan harmoni."

Kata-kata Marry memberikan sedikit ketenangan di hati Luna. Meskipun ia belum tahu bagaimana cara kembali bertemu dengan sahabat-sahabatnya, ia mulai menerima bahwa kehidupan barunya di istana ini juga bisa membawa kebahagiaan jika ia membuka hatinya.

***
Sore itu, ketika langit mulai berubah warna keemasan, Marry mengajak Luna sekali lagi mengelilingi istana. Mereka berjalan di sepanjang taman, mendengar gemerisik daun, dan sesekali mengobrol ringan. Namun, kali ini Marry punya rencana yang sedikit berbeda. Ia mengajak Luna menuju istal, tempat kuda-kuda istana dirawat dengan penuh perhatian.

"Apakah kau pernah menunggang kuda, Yang Mulia?" tanya Marry dengan nada ceria saat mereka mendekati bangunan besar di ujung istana.

Luna terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. "Aku? Tentu saja tidak. Aku bahkan hampir tidak tahu apa-apa tentang kuda. Satu-satunya kuda yang kukenal hanyalah kuda unicorn dalam dongeng dan... kuda-kudaan di Timezone!" Luna mengakhiri kalimatnya dengan tawa, merasa canggung dan aneh membayangkan dirinya naik kuda sungguhan.

Marry ikut tertawa mendengar jawaban Luna. "Oh, aku yakin kau akan menyukai pengalaman ini. Kuda-kuda di istal ini sangat terlatih dan tenang. Mungkin mereka bukan unicorn, tapi mereka tetap luar biasa!"

Luna ragu. Selain kondisinya yang tidak bisa melihat, ia merasa khawatir karena tidak pernah berhubungan langsung dengan kuda. "Aku... aku tidak yakin. Aku tidak bisa melihat mereka, dan aku tidak tahu harus bagaimana."

Marry dengan lembut merangkul lengan Luna, berusaha menenangkannya. "Aku akan bersamamu sepanjang waktu. Kau tidak perlu khawatir. Lagipula, berkuda bukan hanya tentang melihat. Ini lebih tentang merasakan koneksi dengan kudamu, mendengarkan irama langkah mereka, dan mempercayai mereka. Kuda-kuda ini tahu bagaimana menjaga penunggang mereka."

TIBA-TIBA MENJADI PUTRITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang