BAB 19, CEMBURU

1 0 0
                                    


                "Apakah kamu harus meninggalkan Jogja, mbak?" tanya seorang anak laki-laki kepadanya, saat mereka sedang menghabiskan sore Bersama di Kawasan Malioboro yang selalu ramai tanpa kenal waktu.

"Ya, begitulah, tante dan sepupuku sebagai keluargaku yang tersisa memintaku lebih dekat dengan mereka. Harus kuakui, aku berat meninggalkan kota ini," Luna menghela napas, campuran antara bimbang dan putus asa.

"Aku lebih berat lagi karena harus kehilanganmu, mbak," lelaki itu menundukkan wajahnya yang murung, sejalan dengan langit Kota Jogja yang tiba-tiba saja mendung.

"Raga... Tenanglah, aku tidak akan sejauh itu darimu, aku bisa Kembali ke sini kapan saja kalau aku mau, sepupu dan tanteku juga tidak melarang hal itu, karena biar bagaimanapun, aku lahir dan besar disini..." Luna tersenyum, mengacak surai hitam anak lelaki yang tak lebih tinggi darinya itu.

"Tidak mau, aku maunya mbak tetap disini, melanjutkan SMA disini sambil menunggu aku pindah jenjang juga, sialnya, itu masih dua tahun lagi," Raga menggerutu.

"Raga, percayalah, perpisahan ini pasti hanya akan sementara saja, aku akan Kembali kesini, berkuliah disini, bekerja dan melakukan apa saja, apa saja yang bisa membuatku Bahagia, termasuk menghabiskan waktu dengan adik sekaligus sahabat yang baik sepertimu..."

"Janji?" Raga menyodorkan jari kelingkingnya. Luna menyambut baik uluran jari itu dan mengaitkannya di jarinya sendiri.

"Aku janji..." Dan lalu...

"Oh, Raga, tunggu!" Luna tersentak kaget. Kota Jogja dan Malioboro-nya menghilang, kini keadaan Kembali berganti dengan kamarnya (di dalam istana) yang penuh dengan kemewahan. Luna terduduk di tepi tempat tidur, pikirannya mendadak kalut.

"Tidak mungkin, kenapa harus... Dia? Lalu...." Luna bergumam sendirian di dalam kamarnya, sementara jam di nakas sudah menunjukkan hampir pukul 6 pagi, dan ia harus pergi ke sekolah. Tapi Marry tidak ada karena sedang mengerjakan tugas yang diberikan oleh ratu, jadi tidak ada yang mengingatkannya. Luna mengambil ponselnya, bermaksud mengecek jam.

"Hah? Oh tidak, aku bisa terlambat!" serunya gusar. Ia menghempaskan selimutnya sembarang dan langsung secepat kilat pergi ke kamar mandi. Ini hari Senin, bisa sangat celaka kalau ia sampai datang terlambat ke sekolah.

***
Luna memasuki halaman sekolahnya dengan perasaan lega, karena ternyata ia belum terlambat. Dan tepat saat ia turun dari kereta kuda, kekasihnya, Deric, juga baru turun dari keretanya sendiri.

"Selamat pagi, cantik!" serunya riang seraya menarik pelan kepang Panjang gadis itu. Hati Luna berdesir. Kini ia paham kenapa ia bisa senyaman itu dengan Deric.

"Pagi juga, Deric, kukira aku terlambat, ternyata..."

"Tidak, hari ini tidak ada upacara, kita akan langsung bermain ke lab kaca untuk memantau tumbuhan gaib..."

"Tumbuhan gaib?" Luna terkejut.

"Iya, jadwal kita di hari senin, kan, ramuan dasar..."

"Oh, i-iya, aku ingat..." kata Luna sedikit kikuk. Jujur, ingatan dan seluruh pikirannya masih terdistraksi dengan mimpinya barusan ; mimpi tentang kehidupan terdahulunya sebelum ini.

"Luna, apa kau baik-baik saja?" tanya Deric khawatir, karena nampaknya gadis itu tidak seperti biasanya.

"Ya, tentu, aku selalu baik-baik saja," Luna menjawab tak yakin. Tapi Deric tidak bisa membuktikan kecurigaannya lebih jauh, karena suara bel sudah berdentang dari kejauhan, menandakan bahwa mereka harus masuk ke dalam kelas sekarang juga.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 4 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TIBA-TIBA MENJADI PUTRITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang