"Heh! Lepasin! Lepasin dia!" teriak Gavin saat ada seorang siswa yang mengintimidasi siswa lain – sepertinya anak kelas sepuluh – di sudut sekolah.
"Oh, hai, cowok lemah, lo mulai bisa melawan hmm?" tanya siswa itu mengejek. Senyum sinis terkembang di bibirnya.
"Nggak ada masalah kalau Cuma ngelawan berandal kayak elo," ujar Gavin dingin. Selekasnya ia membawa anak lelaki itu ke tempat yang benar-benar jauh dari Randy.
"Lo nggak apa-apa?" tanyanya.
"Nggak apa-apa kok, kak, terima kasih ya..." ucap anak lelaki itu.
"Aman aja kalau sama gue, nama lo siapa? Lo anak baru ya?" tanya Gavin lagi.
"Nama saya Raga, saya anak baru disini..." jawabnya. Dan begitu Gavin melihat ke arah tangan kanan lelaki itu – lalu ke matanya, ia menyadari sesuatu.
"L-L-Lo..."
"Saya tidak bisa melihat..." jawab anak Bernama Raga itu tenang.
"Oh, okay, lo kelas satu, kelas lo di atas, butuh diantar?" tanya Gavin setelah selesai dari keterkejutannya.
"Nggak usah, kak, saya bisa naik tangga sendiri," jawab Raga.
"Aduh, gue yang takut kalau ninggalin lo sendirian, nanti lo ketemu si brengsek itu lagi, tu anak hobinya cari masalah soalnya. Jadi, mending lo gue anter aja, ya," kata Gavin.
"Ya udah deh, kak, terima kasih ya..." jawab Raga sopan. Gavin mengiyakan. Sambil mereka berjalan menuju tangga, ia terus memperhatikan wajah anak yang tidak llebih tinggi darinya itu. Rasanya dia pernah melihat wajah anak itu, tapi Dimana ya?
"Gav, lo ngapain naik ke atas? Mau kemana lo?" sapa Gabriel yang berdiri tepat di belakangnya.
"Buset dah, ngagetin aja lo, Gab, ini, ada anak baru mau dikerjain Randy tadi..."
"Eh, astaga! Tadi kan Bu Poppy nyuruh gue nemenin anak itu, tapi gue lupa banget bjir, malah gue tinggal ke kantor madding! Raga, sorry banget ya..." Gabriel merasa bersalah.
"Nggak apa-apa kok kak, saya juga kok yang salah, niatnya pengen explore sekolah, eh malah dikerjain..."
"Eh BTW, Ga, bisa nggak sih ngomongnya gue-elo aja? Ini di Jakarta lho, aneh banget kalau Bahasa lo terlalu kaku kayak gini..." kata Gavin.
"Aduh gimana ya kak? Saya emang belum lama tinggal di Jakarta, tadinya saya sekolah dan tinggal di Jogja..."
"Jogja? Ah, iya, gue baru ingat! Ini kan sahabatnya Luna yang dulu? Temen satu sekolahnya?" Gavin membatin.
"Gav, oi, ngapain ngelamun sih? Cepet ayo ke atas, sepuluh menit lagi bel lho!" suara Gabriel membuyarkan lamunan cowok ganteng itu.
"Ya ampun, sorry, deh, ya udah kalau gitu nggak jadi naik tangga aja, kita lewat lift guru..." putus Gavin akhirnya.
"Bjir, gak bakal dimarahin emang?" tanya Gabriel.
"Emangnya siapa yang berani? Mau dicabut kah sumbangan tetapnya?" Gavin tertawa mengejek. Kedengerannya emang arogan, sih, tapi nggak salah kok meletakkan arogansi bahkan dominasi di tempat yang tepat. Dia tau bagaimana sekolah ini berjalan, bahkan dia tau siapa saja opnum di sekolah ini yang bisa tunduk hanya dengan satu kata yang terdiri dari empat huruf ; U, A, N, G. Kedengerannya gelap, tapi itu fakta.

KAMU SEDANG MEMBACA
TIBA-TIBA MENJADI PUTRI
Teen FictionApa yang terlintas di benakmu Ketika kamu terbangun dari tidurmu dan menyadari bahwa kamu tidak berada di tempat yang kamu kenal? Pertanyaan yang sama juga ada di benak Alunanda Sagita, seorang siswi SMA penyandang tunanetra yang sedang mengikuti ke...