Kembbali ke dunia biasa yang penuh dengan kepahitan realita, kini Gavin sedang masuk ke sekolahnya dalam diam, di malam hari. Tidak sendiri, ia mengajak tiga orang temannya ; Gabriel, Eliezer dan Juan, untuk ikut menyelidiki kasus yang terasa amat janggal ini.
"Ju, El, Gab, kunci ada di siapa?" tanya Gavin tiba-tiba.
"Lo kalau manggil yang konsisten kenapa sih, mau nanya ke gue, ke El, atau ke Juan?" omel Gabriel.
"Ya siapa aja di antara kalian, ada yang megang kunci nggak?" tanya Gavin lagi, tanpa sama sekali berniat ingin merubah atau mengoreksi ucapannya. Duh, arogan betul, untung ganteng dia.
"Ada di aku, Vin," jawab Juan akhirnya. Tapi matanya tidak fokus ke jalan maupun teman-temannya, ia sibuk melihat seorang gadis yang melambaikan tangan dari jendela sebuah kelas yang ada di lantai dua sekolah. Juan sadar, itu pasti bukan manusia, makanya dia acuh saja. Syukurlah, setelah perjalanan yang cukup Panjang, akhirnya dia bisa juga mengendalikan mata batinnya untuk lebih bisa diajak Kerjasama. Dia sama sekali tidak mempedulikan gadis pucat yang terus melambaikan tangannya dari atas situ, terus-menerus meminta perhatiannya.
"Kalau kamu mau ngobrol sama aku, mending sekarang kamu bantuin aku sama teman-temanku," ucap Juan dalam hatinya.
"Nah, gitu kek, dari tadi aku mau ngajak ngobrol malah dicuekin terus, BTW, namaku Michele, aku bertahun-tahun di atas kamu, I'm senior!" katanya menyombongkan diri.
"Iya-iya deh, saking seniornya sampe wujud aslinya udah nggak ada, punah, mbak?" kelakar Juan.
"Sembarangan! Emang aku dinosaurus apa, lagian kamu ngobrol sama aku Nasib temen-temen manusiamu itu gimana? Mereka kan nggak bisa lihat aku?"
"Oh iya ya, ya udah kamu diem dulu, kalau bisa, turunlah dari atas situ, di samping aku aja jangan kemana-mana," kata Juan.
"Iya-iya, dasar manusia posesif, ya udah lanjut dulu sana sama temen-temenmu, kalau bbutuh apa-apa, aku nggak jauh kok." Kata "hantu" Michele. Juan mengangguk, lalu mengembalikan atensi ke teman-temannya.
"Ini kuncinya, guys, lagian ngapain juga ya kita nyelidikin lewat belakang gini? Pake acara muter-muterin garasi sekolah segala, lagi..." kata Juan.
"Ya kalo dari depan Namanya bukan menyelidiki, Juan, tapi bertamu!" seru Eliezer gemas.
"Iya juga sih, ya udah, ini gelap banget bjir, akapah..."
"Apakah, Juan, apakah! Sekali lagi lo ngomongnya kebalik, gue bikin elo tiduran dengan posisi kebalik juga, kepala di bawah, kaki di atas, mau?" Gavin setengah mengancam. Duh, kok betah ya padaan punya temen sumbu pendek begini? Kalau author sih no! Hihihi. Eh, tapi seru juga tau, soalnya yang begini ini nih biasanya malah baik hatinya. Kalian setuju?
***
Gavin, Gabriel dan Eliezer sibuk menyelidiki jengkal demi jengkal ruangan itu dengan bantuan lampu senter dan flash HP, sementara Juan sibuk bercakap-cakap dengan "teman" tak kasat matanya tadi yang baru saja ia kenal ; Michele. Baik Gavin, El maupunn Gabriel sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu, karena mereka berempat memang sudah bersahabat sejak lama. Lagian mereka juga tau, Juan pasti memiliki tujuan tertentu untuk apa yang ingin mereka capai bbersama, Cuma caranya aja yang agak beda."Vin, CCTV-nya mati!" seru Gabriel yang sudah ada di atas.
"Kalau yang di sayap timur sana emang mati, bro, yang hidup tinggal dua doang," jawab Gavin sedikit berteriak.
"Aduh, kalau gitu gue naik tadi sia-sia dong, pegangin woi, gue mau turun nih!" seru Gabriel dari atas. Juan datang tanpa diminta untuk memberikan bantuan, sambil tak lupa ia juga memperingatkan, "Jangan teriak-teriak, bro, itu nanti ada yang denger gimana? Gagal semua rencana kita..."
"Siapa yang bakal berkeliaran di dalam Gedung SMA besar kayak gini di jam 12 malam?" tanya Eliezer sambil berusaha mengumpulkan bukti sekecil apapun untuk menjadi bahan penyelidikan mereka nantinya.
"Iya juga ya, aku lupa, Cuma aku yang bisa lihat mereka," Juan meringis jelek di akhir kalimat.
"Kayaknya ini cukup dulu deh, unit bus yang kita cari juga tadi udah gue foto kok, tapi ya seadanya, soalnya disini minim pencahayaan sih," kata Gabriel seraya menunjukkan ponselnya.
"Ya udah nggak papa, pokoknya gue akan terus mengupayakan supaya kita bisa sering-sering kesini, bahkan kalau perlu sampe masuk ke dalam busnya, aman kalau soal itu, serahin aja sama gue," kata Gavin.
"Vin, lo yakin?" tanya Gabriel agak sangsi.
"Kenapa harus nggak yakin, keluarga Adiaksa alias keluarga gue kan donatur tetap di sekolah ini, emmang mereka mau kehilangan palung emas bbegitu saja?" kata Gavin angkuh.
"Ta-Tapi Vin, uang kan bukan segalanya..." Juan mengutarakan pendapatnya takut-takut.
"Emang, tenang aja, gue nggak se-arogan itu. Gue masih percaya kalau uang bukan segalanya, tapi yang harus kita pahami dan kita sadari di era sekarang adalah, uang bisa membuat segalanya yang terasa nggak mungkin terjadi menjadi mungkin..." kata Gavin pelan. Ketiga temannya mengangguk, membenarkan ucapan cowok itu, serta mengaitkannya dengan segala fenomena yang terjadi sekarang ini. Uang memang bukan segalanya, tapi segala yang nggak mungkin, bisa jadi mungkin Cuma gara-gara uang, itu valid.
"Guys, cabut yuk, udah mau jam satu nih," Gabriel memecah kesunyian.
"Ya udah, ayok, jangan lupa, kita dilarang keras buat nyampah disini, soalnya biar gak ketahuan akalau ada yang sering masuk ke tempat ini, malamp-malam pula..."
"Tapi kata lo semua CCTV sekolah udah dimatiin, gimana sih?" tanya Eliezer.
"Gue masih kurang yakin, soalnya tugas matiin CCTV tadi gue serahin ke Mikayla, lo tau sendiri kan anak itu gimana..."
"Aduh mati aja sana, Vin!" seru Gabriel, Eliezer dan Juan kompak. Kek apa sih sebenernya sosok Mikayla itu? Kenapa mereka tadi kompak mendesah mashgul saat Gavin menyebut nama itu? Hihihi sabar dulu, perjalanan cerita ini masih Panjang kok, makanya ikutin terus biar nggak ketinggalan!
(TBC).
KAMU SEDANG MEMBACA
TIBA-TIBA MENJADI PUTRI
Ficção AdolescenteApa yang terlintas di benakmu Ketika kamu terbangun dari tidurmu dan menyadari bahwa kamu tidak berada di tempat yang kamu kenal? Pertanyaan yang sama juga ada di benak Alunanda Sagita, seorang siswi SMA penyandang tunanetra yang sedang mengikuti ke...