BAB 3, DARI SISI YANG BERBEDA

7 2 0
                                    

                Ini adalah kehidupan yang jauh dan benar-benar jauh dari kehidupan Luna yang serba nyaman dan terjamin di istananya. Mungkin juga tidak berlebihan jika ini dikatakan sebagai "dunia" yang benar-benar berbeda ; dunia yang menawarkan kejujuran (meskipun pahit), dan dunia yang menyajikan kenyataan, meskipun segalanya masih sulit untuk diterima, bahkan dihadapi.

Seorang laki-laki tampan duduk di atas kursi di dalam sebuah kamar rawat rumah sakit. Di sampingnya, di atas tempat tidur, terbaring seorang Perempuan muda lengkap dengan segala alat bantu yang sedang mati-matian berusaha menopang hidupnya.

"Pagi, Lun... Aku masih bener-bener nggak habis pikir, kenapa dari sekian banyak penumpang di bus itu, Cuma kamu yang jadi seperti ini. Ini nggak adil, Luna, sama sekali nggak adil!" lelaki itu mengajak si gadis berbicara, mengupayakan agar imajinasinya tetap mau diajak bekerja sama dan membayangkan, seolah gadis itu hanya sedang tidur dan bukan koma.

"Andai aja waktu itu aku yang mengantarmu pulang, andai aja waktu itu aku nggak egois membbiarkan kamu pulang sendiri, pasti semuanya nggak akan kayak gini... Maafin aku." Ucapnya dengan penuh penyesalan. Dan gadis itu ternyata tetap membisu, membuat si lelaki merasa semakin kalah dan bersalah.

Gavin Ganendra Abhimanyu Namanya, dia adalah yang terpopuler di sekolah tempat Luna juga menimba ilmu. Sekolah yang berbasis inklusi, tapi tidak bisa menjamin keselamatan siswa-siswinya, benar-benar ironis. Sampai hari ini, Gavin masih tidak habis pikir, kenapa pihak sekolah bisa kecolongan perihal mobil antar-jemput itu? Kenapa mereka bisa sampe nggak tau bahwa mobilnya sudah diotak-atik sedemikian rupa? Dan kenapa juga hanya Luna sendiri yang menjadi satu-satunya orang yang tidak selamat di bus yang kecelakaan itu?

"Gav..."

"Mau ngapain lo ke sini? Udah puas kan lo?" ketus lelaki itu. Tatapannnya menghunus tajam, membuat Wanita berseragam sekolah yang datang secara tiba-tiba itu sedikit mengkerut takut.

"Nggak usah pura-pura baik di depan gue, Abel!" suaranya terdengar tajam.

"Gav, lo ngomong apaan sih? Luna itu sahabat gue sama Meiske, gue datang buat ngejenguk dia..."

"Kalau bukan gara-gara ulah lo, Meiske dan Jenny, pasti gak akan begini kejadiannya, gue masih bisa becandaan bareng sama sepupu gue satu-satunya ini, dia nggak harus koma dan dicolok-colok sama barang-barang beginian! Ngerti?" Gavin semakin marah.

"Gav, sumpah yaa, gue sama sekali nggak ngerti lo ngomong apa, o-oke mungkin lo terlalu sedih sama apa yang sedang menimpa Luna saat ini, kalau begitu, gue nggak akan ganggu deh..." kata Abelia seraya buru-buru berlalu pergi. Gavin sama sekali tidak mengindahkan gadis itu. Rasa bencinya sudah tumbuh jauh sebelum kecelakaan naas yang kini harus menimpa Luna. Berkali-kali ia mengatakan bahwa baik Meiske maupun Abelia sebenarnya bukan sahabat yang bbaik, mereka berdua sering secara sadar memanfaatkan Luna karena kepintaran gadis itu, terutama di bidang musik. Dan sekarang – atau nanti, Ketika akhirnya mungkin Luna sadar dari komanya – kenyataan pahit yang harus ia hadapi adalah Ryan, kekasihnya yang hampir menjadi tunangannya itu telah menjadi pacar dari Meiske. Sungguh membagongkan, bukan?

"Istirahat yang tenang, baby, gue akan carikan keadilan yang seadil-adilnya buat lo, sepupu cantik gue yang pintar, tabah, dan selalu ceria. Gue, bunda, ayah dan aMbak Aurel adalah perpanjangan tangan dari keluarga lo yang... Ok, gue juga gak tau mereka Dimana, tapi gue janji, gue akan carikan itu juga untuk lo, kalau gue mampu. Bye, cantik," ucap remaja laki-laki itu seraya Kembali mengenakan jaket dan mengambil kunci motornya yang diletakkan di atas meja tadi. Mau pergi kemana dia? Entahlah, tidak ada yang tahu. Yang jelas, salah satu misinya adalah ingin mencarikan keadilan untuk sepupu kecilnya yang lucu itu.

TIBA-TIBA MENJADI PUTRITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang