BAB 4, SEKOLAH KHUSUS KERAJAAN

5 1 0
                                    

Hari yang ditunggu akhirnya tiba. Pagi itu, Luna bersiap dengan semangat yang membuncah. Meskipun lingkungan istana kini telah menjadi bagian hidupnya, antusiasme untuk bersekolah dan mengenal sekolah baru tetap sama besarnya. Duduk bersama Raja Andre dan Ratu Agnes di meja makan, ia mengunyah roti isi tuna sambil membayangkan seperti apa suasana sekolah kerajaan itu. Meski kini dunia barunya penuh kemewahan, di dalam hatinya, Luna tetap merasa seperti gadis biasa yang haus akan pengalaman dan pembelajaran.

"Luna, ingat, di sekolah nanti, jangan ragu untuk meminta bantuan siapa pun. Kamu tidak perlu terburu-buru," ujar Ratu Agnes dengan lembut, jelas masih khawatir meskipun telah mengizinkan Luna bersekolah tanpa kawalan berlebihan.

"Tenang saja, Ibu. Aku bisa menjaga diri," jawab Luna, dengan senyum meyakinkan. Setelah perdebatan panjang dengan Raja Andre, akhirnya disepakati bahwa Marry hanya akan mengantar Luna sampai kelas di hari pertama ini, dan selanjutnya, Luna akan datang sendiri dengan kereta kuda pribadinya, tanpa pengawalan besar-besaran.

"Aku sudah berjanji, hanya kusir dan aku saja," tambah Luna, setengah geli ketika ia menyadari bahwa baginda raja masih sedikit khawatir.

Sesuai dengan kesepakatan itu, Marry menemaninya hingga ke sekolah khusus kerajaan, tempat yang dirancang sebagai sekolah luar biasa bagi putra dan putri kerajaan dari seluruh negeri yang juga penyandang disabilitas. Terdapat berbagai program khusus, dan yang membuat Luna paling bersemangat adalah kesempatan untuk bisa belajar bersama orang-orang yang mungkin memiliki kisah hidup serupa dengannya.

Begitu tiba di sekolah, Luna kagum dengan gedung-gedung megah yang dilengkapi taman-taman luas dan area bermain yang dirancang ramah untuk semua kebutuhan. Hari pertama ini, sambil ditemani Marry, ia menyusuri aula besar hingga sampai ke ruang kelasnya. Ruangan itu dipenuhi suasana ramah dan penuh semangat, para siswa yang tampak saling mendukung dalam belajar dan bermain. Tidak lama setelahnya, ia bertemu beberapa teman sekelas baru yang segera menyambutnya dengan kehangatan.

Luna, dengan tekad besar di dadanya, tersenyum. Meski ini baru hari pertama, ia sudah merasa bahwa sekolah ini adalah tempat yang istimewa, di mana ia bisa menjadi dirinya sendiri. Ia pun melambaikan tangan pada Marry yang akhirnya meninggalkan kelas, dan di dalam hatinya, Luna berjanji untuk menjalani kehidupan barunya ini dengan sepenuh hati, tanpa pernah melupakan jati dirinya yang sejati.

***
Saat jam istirahat, Luna berjalan menuju kantin dengan penuh semangat, namun tanpa sengaja bertabrakan dengan seseorang yang ternyata adalah Deric. Tabrakan itu membuat mereka berdua jatuh terjungkal, tongkat mereka terpental ke arah berlawanan. Keduanya tertawa bersama setelah menyadari apa yang terjadi. Momen canggung itu segera pecah ketika Amy, salah satu teman baru Luna yang masih memiliki sisa penglihatan (low vision), mendekati mereka, berinisiatif mengambilkan tongkat yang terjatuh sambil bergumam, "Kalian berdua ini harus hati-hati sedikit, ya! Masa putri dan pangeran saling tabrak di tengah aula?"

Luna dan Deric hanya tersenyum. Mereka tahu, meski omelan Amy cukup ceplas-ceplos, ia adalah teman yang perhatian dan tidak pernah bermaksud buruk. Amy adalah putri kerajaan yang dikenal tomboy, cenderung langsung berbicara tanpa banyak basa-basi. Sambil menyerahkan tongkat kepada Luna dan Deric, Amy melirik keduanya sambil tersenyum, "Sudahlah, yuk makan bareng saja, daripada kalian cari masalah di sini."

Ketiganya akhirnya menuju kantin bersama. Amy, yang tampaknya enggan menjadi satu-satunya orang tanpa pasangan di meja, mengajak temannya yang lain, Pangeran Rey, yang harus menggunakan kursi roda untuk mobilitasnya. Rey menyambut ajakan itu dengan senyum lebar, senang bisa ikut berkumpul.

Di meja kantin, mereka berbincang seru sambil menikmati makanan, menciptakan suasana yang hangat. Luna merasa nyaman di antara teman-teman barunya ini. Bagi mereka semua, disabilitas bukanlah penghalang untuk berbagi cerita, canda, dan tawa. Tak disangka, meskipun baru saja bergabung di sekolah, Luna merasa semakin betah, yakin bahwa ia telah menemukan sahabat-sahabat yang bisa menerimanya apa adanya.

Deric sempat menyinggung mengenai pertunjukan Luna semalam yang mengesankan, sementara Amy dan Rey berkomentar tentang teknik bermain pianonya yang lembut namun kuat. Luna, sedikit tersipu, hanya bisa tersenyum dan berterima kasih. Ia tak pernah menyangka bahwa momen yang tampak sederhana seperti makan bersama di kantin bisa begitu berarti, seakan hari-hari penuh petualangan telah menantinya di sekolah ini.

***
Setelah jam istirahat, jam pelajaran berikutnya adalah tata bahasa yang diajarkan oleh Nona Magdalena. Guru ini terkenal dengan sifatnya yang keras hati dan disiplin tinggi, membuat semua murid diam-diam menahan napas ketika ia masuk kelas. Luna, yang mendengar bisik-bisik dari teman-teman sekelasnya tentang rencana mereka untuk mengusili Nona Magda, merasa sedikit khawatir. Meskipun dia ingin sekali berbaur, dia memutuskan untuk tidak ikut serta dalam rencana itu. Baginya, mengusili guru bukanlah cara yang bijak untuk menghadapi ketidaknyamanan.

Ketika pelajaran dimulai, Nona Magda langsung memulai dengan nada suara yang tegas, dan suasana kelas pun menjadi tegang. Deric, yang duduk di sebelah Luna, mengirim pesan singkat melalui ponselnya, mengusulkan agar mereka sebaiknya keluar saja dan menghabiskan waktu dengan cara yang lebih menyenangkan. Amy dan Rey, yang sudah mendengar usul tersebut, menyetujui tanpa pikir panjang.

Di sela-sela pelajaran, mereka bertukar pesan dan menyusun rencana untuk segera keluar setelah jam selesai. Begitu bel berbunyi, mereka segera bergegas menuju taman sekolah, menuju kafetaria yang tenang di dekatnya. Di sana, mereka membeli es krim dan duduk santai di bawah naungan pepohonan. Meskipun hidup di era kerajaan, mereka menikmati akses ke teknologi modern, termasuk ponsel pintar, yang memudahkan mereka mengabari sopir kereta kuda untuk menjemput mereka di pintu gerbang sekolah nanti.

Sambil menyantap es krim, mereka berbincang dan bercanda, menceritakan berbagai hal—mulai dari pertemuan pertama mereka di sekolah hingga kesan-kesan pertama mereka terhadap Nona Magdalena yang "legendaris." Rey, yang senang melontarkan humor-humor ringan, membuat mereka semua tertawa dengan menirukan gaya bicara sang guru yang tegas. Sore itu, suasana terasa ringan dan penuh tawa, seakan tak ada kekhawatiran atau tuntutan istana yang membayangi mereka.

"Sepertinya dunia di sini tidak seburuk yang kubayangkan," ujar Luna sambil tersenyum. Deric mengangguk dan berkata, "Kehidupan istana memang penuh aturan, tapi teman-teman membuatnya jadi lebih menyenangkan." Dengan begitu, hari itu pun ditutup dengan perasaan hangat dan semangat baru untuk petualangan hari-hari berikutnya di sekolah.

(TBC).

TIBA-TIBA MENJADI PUTRITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang