Di hari pertama kembali ke sekolah, suasana begitu riuh dengan canda tawa dan sapaan hangat dari para siswa. Ketika Luna bertemu Deric, mereka berpelukan erat, melepaskan rasa rindu setelah liburan panjang. Deric dengan penuh semangat mulai menceritakan petualangan liburannya bersama keluarga ke negeri Tetralis, yang terletak tidak terlalu jauh dari negeri mereka sendiri, Eldoria.
Namun, ketika tiba gilirannya mendengarkan cerita Luna, Deric terkejut bukan main. "Kau... sudah mulai belajar sihir?" ujarnya tak percaya. Matanya membulat seolah tak pernah membayangkan sahabatnya itu bisa secepat ini mengambil langkah maju. "Luna, itu luar biasa! Aku bahkan tidak menyangka kau sudah belajar mantra dasar."
Luna tersenyum, mengangkat bahu. "Zelda dan Dyas membantuku banyak selama liburan. Aku sendiri sebenarnya tidak menyangka bisa belajar secepat ini."
"Tapi mungkin saja kamu itu berbakat, Luna, makanya segalanya terasa mudah bbagimu," kata Deric.
"Entahlah," Luna mengedikkan bahu acuh, "Aku tidak peduli sekeras apa tantangan belajar yang aku hadapi nantinya, terutama dalam ilmu sihir ini. Yang penting aku bisa mendapatkan semua jawaban atas misteri hidupku..."
"Di dunia yang manapun, hidup adalah misteri, bbukan? Semua terserah pada sang pencipta," kata Deric.
"Tapi Deric, seburuk-bburuknya manusia adalah dia yang tidak melakukan apapun untuk mengubah hidupnya," kata Luna.
"Aku mengerti, dan percayalah, aku senang sekali karena kamu ternyata memiliki bakat yang begitu besar di dunia sihir," kata Deric. Luna tersenyum, memainkan jemari di atas rok kotak-kotak biru yang dia kenakan.
Ketika Amy bergabung sambil mendorong kursi roda Rey, Luna dan Deric segera menyadari kesedihan yang tergambar di wajah sahabat mereka. Dengan suara pelan, Amy mengabarkan bahwa sekolah akan mengadakan pesta dansa di akhir minggu pertama, yang menjadi penyebab kemurungan Rey. Rasa tidak percaya diri karena kelumpuhannya membuat Rey marah pada dirinya sendiri, dan Amy hampir menangis setelah berusaha menenangkan kemarahan Rey pagi ini.
Luna menunduk, memahami betul perasaan Rey. "Hei, Rey, kau tahu, kan? Dansa bukan sekadar gerakan tubuh. Ada banyak cara untuk mengekspresikan diri, dan kita di sini untuk memastikan kau bisa menikmatinya."
Deric menimpali sambil menepuk bahu Rey. "Kalau kau mau, aku bisa membantumu menciptakan gerakan yang pas di kursi roda. Dansa adalah tentang ritme dan menikmati momen, bukan soal bisa berjalan atau tidak."
Rey menghela napas, sedikit tersenyum mendengar dukungan teman-temannya. "Terima kasih, kalian," katanya, suaranya lebih tenang. Amy tersenyum lega, ikut merasakan dukungan yang mereka berikan untuk Rey.
"Rey, jangan marah lagi, Amy ketakutan tuh," goda Luna pada Amy yang sekarang memang sedang sembunyi di belakangnya.
"Maaf," Rey menghela napas lagi. Setiap kali ada satu kegiatan yang melibatkan fisik, Rey akan selalu seperti ini ; marah tanpa kesudahan sampai membawa orang lain ke dalam arus deras perasaannya.
"Rey, kau baik-baik saja?" tanya Luna khawatir.
"Aku... Aku tidak apa-apa, permisi," Rey memutar pelan kursi rodanya, pergi meninggalkan teman-temannya yang bingung semua.
Saat Rey memutar kursi rodanya dan pergi dengan wajah muram, Amy tidak mampu menahan air matanya lagi. Ia menangis tersedu, merasa putus asa dan sedih karena pertengkaran ini. Luna langsung memeluk Amy, membiarkannya melepaskan kesedihan yang sudah lama tertahan.
"Aku hanya ingin membantunya... tapi dia marah padaku," ucap Amy, suaranya bergetar. "Selama ini kami selalu memahami satu sama lain. Tapi sekarang... aku tidak tahu harus bagaimana."
KAMU SEDANG MEMBACA
TIBA-TIBA MENJADI PUTRI
Novela JuvenilApa yang terlintas di benakmu Ketika kamu terbangun dari tidurmu dan menyadari bahwa kamu tidak berada di tempat yang kamu kenal? Pertanyaan yang sama juga ada di benak Alunanda Sagita, seorang siswi SMA penyandang tunanetra yang sedang mengikuti ke...