Part 12

1 1 0
                                    

¤
"Unforgotten Memories"
--••--


Sejauh mata memandang, selaras pikiran berkelana. Kanada itu bagi Park Jimin sudah seperti rumah kedua untuknya setelah Korea. Kanada adalah tempatnya menuntut ilmu hingga ia bisa mendapatkan gelar wisuda. Sebuah kebanggaan yang dapat ia hadiahkan untuk sang Ibu tunggal yang tanpa pamrih melahirkan, merawat, serta membesarkannya.

Kanada itu seperti negeri utopia di mana orang-orang dapat melihat eksistensi jutaan pohon maple yang bertebaran dan menggugurkan daun-daunnya yang kala musim gugur datang menyapa. Dominasi warna cokelat, merah, dan oren berpadu sama rata menyajikan keindahan pada setiap mata yang datang menyapa mereka penuh suka cita.

Ada sebuah kenangan sederhana yang membuat Jimin memilih Kanada sebagai pilihannya untuk mengejar gelar strata. Sebuah kenangan kecil yang menukik dalam sanubarinya dan berdiam rapi seolah enggan pergi darisana. Jimin tentunya masih mengingat semua kenangan tersebut dengan jelas. Tentang seorang gadis manis yang menyapa memorinya secara sengaja. Pemuda itu terkekeh pelan, matanya kecilnya menyipit gemas. Kopi hitam yang mengepul di atas meja menjadi temannya untuk bernostalgia.

Saat itu hari rabu pukul satu siang dan cakrawala dalam masa-masanya untuk merajuk pada bentala. Rintik-rintik kecil turun menyelimuti-terkadang pelan dan terkadang kasar. Jimin kala itu baru saja merayakan kelulusan dan terpilih menjadi siswa terbaik seluruh angkatan.

Alih-alih untuk mengadakan pesta perayaan ataupun mengajak teman-temannya ke pantai, Jimin memilih menyendiri menatap satu persatu kenangan yang akan ia tata dalam memori sebab setelah ini ia akan pergi jauh beberapa tahun meninggalkan Ibunya seorang diri. Jimin tidak tahu harus merasa bahagia atau sedih sebab itulah dirinya kini duduk merenung di bangku taman tak jauh dari sekolahnya berada.

"Kenapa menangis?"

Sebuah vokal asing mendarat menusuk liang telinga Jimin saat pemuda itu sedang menatap lamat rintik-rintik yang asyik bercumbu bersama persil. Sepintas ia melirik, tatapan Jimin terpaku selama beberapa detik. Seorang gadis yang mengenakan seragam sekolah menengah berdiri di dekatnya.

Rona pink alami memenuhi bibirnya yang tipis, warna kulit putih pucat serta rambut keriting yang dikucir kuda menyisakan beberapa helai tipis di dahi mulusnya. Selintas sebuah kata tak biasa memilih datang dan bersarang di kepala Jimin Lucu-apalagi gadis itu kini memiringkan kepalanya tampak berpikir.

Menuntaskan pikiran anehnya yang tiba-tiba memuji orang asing, ia sejenak berdeham pelan guna menetralkan kerongkongan yang terasa tercekat lantas Jimin menoleh ke kiri dan ke kanannya, kedua alisnya bertautan satu sama lain hingga melontarkan sebuah tanya, "Kau bicara padaku?"

Gadis itu berdecak singkat kemudian ikut menjatuhkan bokongnya di kursi tepat di sebelah Jimin. Kedua tungkai kurusnya berayun-ayun di udara. Sebelah Jemarinya mengetuk-ngetuk paha dan kini ia mengalihkan fokus pada benda dipangkuan Jimin lantas setelah itu kembali menatap subjek di sebelahnya itu, "Sudah lulus dan menjadi siswa terbaik satu sekolah tapi malah menangis sendirian di taman. Aneh."

Jimin seketika mendelik tak terima akan tuduhan yang dilemparkan padanya, lagipula siapa yang menangis? Siapa pula yang aneh? Gadis ini betul-betul berlagak seakan tahu dirinya luar dan dalam. Meski ingin merangkai sebuah kata untuk mengusir gadis ini jauh-jauh tapi bibir tebalnya hanya mampu mengucap beberapa kalimat yang semakin menunjukan kalau dirinya ini seorang laki-laki cengeng, "Aku tidak menangis." Jimin menggeleng singkat.

"Itu yang ada di pipi kakak memangnya kotoran dari langit? Sudah jelas-jelas menangis masih saja menyangkal." Gadis itu mengulum bibirnya sesaat menahan kedut yang terus merangkak memaksa untuk dibebaskan. Ia melirik Jimin penuh jenaka lewat tatapan mata.

CANDOR (COMPLETED) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang