Candor: Hyemi Side

1 1 0
                                    

When will it be...
When I face you again...
I want to look into your eyes and tell you,
I’ve missed you.
———

Di dalam nostalgia kebahagiaan, aku di sini terseok-seok dengan langkah tungkai yang pincang. Mencoba dengan tertatih-tatih setengah sekarat untuk mencapainya yang kukira semakin bergerak jauh namun kenyataannya ia tidak pernah beranjak barang sedikit pun—kebahagiaan itu, dia masih berdiri dengan patih mengukung seutas senyum semanis kembang gula di antara semak-semak belukar.

Walakin keputusasaan tak pernah absen menjumpai diri setiap detik untuk membunuh noktah rasa yang membumbung dalam relung kalbu. Aku tetap saja bergeming dengan menatap satu arah.

Itu dirimu. Kau lah adiksi yang telah menghilang sekian tahun tanpa ada seuntai aksara yang tertinggal yang mungkin bisa kusibak gatranya meski tersembunyi dalam kelamnya terowongan kepastian.

Itu dirimu. Masih tetap dirimu dan akan selalu dirimu, Jungkook. Iya namamu Jeon Jungkook. Terdengar menggelitik sanubari dan terlalu gemas untuk dilantunkan sebagai lullaby pengantar tidur yang menyusup dalam saraf-saraf empu.

Pada awalnya bukan seperti ini elaborasi yang ingin aku uraikan, Jung.

Kau tahu 'kan kalau dirimu itu menyebalkan setengah mampus?

Alih-alih melukiskan tentangmu dengan pena bertinta emas aku hanya mampu mengukirnya dengan mangsi murahan yang kubeli pertengahan bulan lalu yang biasanya kupakai untuk mencoret-coret halaman kertas dari buku usang favoritku.

Kau itu pemuda brengsek, badung, konyol, keras kepala, semena-mena, seenaknya sendiri, suka memerintah, pemaksa, mudah marah, mudah merajuk seperti anak kecil yang kehabisan makanan.

Nah, bagaimana Jung? Jelek semua ya? Sepertinya aku mengeluarkan pendapatku yang sejujurnya tentangmu ya? Apa kau akan merajuk lagi dengan labium merah merekahmu yang tebal itu yang sering kau gunakan untuk memberi kecupan selamat malam padaku.

Labium merah merekah yang kurindukan setengah mati di malam-malam yang dingin saat rintik-rintik salju mencumbui butala. Labium merah merekah penuh afeksi yang sering memberiku ketenangan lewat kata-kata indahnya. Labium merah merekah yang—huh, hentikan sampai bagian ini saja Jung. Terlalu candu untuk dipaparkan dengan celoteh wacana yang kukira satu buku tebal pun tak cukup untuk merangkai semua tentangmu.

Lalu mari dengar sebuah kontradiksi dari relung hatiku yang sedari tadi menjerit tak sabar menunggu giliran untuk menjelaskan perangaimu yang membuat geleng-geleng kepala.

Kau itu pemuda baik hati, lemah lembut, penuh kasih sayang dan cinta, tulus, jujur, lucu, humoris, gemar menolong siapapun yang kesusahan, pengertian, perhatian, dan menggemaskan dan—masih banyak lagi sampai aku menyerah untuk memetakannya satu demi satu.

Sederhananya, kau memang begitu indah untuk dijelaskan dengan sepotong kalimat singkat yang kadang sesekonnya mengundang jerat pikat yang memesonakanku, kupikir semua puan yang rela baris-berbaris di belakangku sepanjang jalan kenangan ini tak akan menemui jemu mereka. Terus menunggu sampai ada kata menyerah diantara sela jemari kita yang saling bertautan.

Bahkan, kiranya jika aku terjebak di dasar lautan dingin gelap tak bersekat, kau rela terjun hanya untuk meraih jemari ringkih ini untuk kau bawa bersamamu. Di saat para insan lain menatapku laiknya seonggok sampah tak berharga hanya kau satu-satunya yang menganggapku sebagai seorang puan mulia. Ketika sang waktu tak kenal letih menyapu album memori yang hampir berdebu. Aku di sini berlari dengan jejak tak beralas hanya untuk melihat bayangmu yang semu.

Sebuah fatamorgana ironi yang membuat manik cokelatku menganak sungai akibat isak tangis. Dekap erat tubuhku, Jung. Jiwaku sedang sekarat ditempa nestapa karena separuh cinta yang hilang dari hadapan. Sejahat itu takdir mempermainkan nasib kita berdua.

Aku hanya seorang diri di sini. Merintih kesakitan menahan sesak yang menggerogoti bilik nurani. Berharap kau akan segera kembali bukan untuk mengatakan selamat tinggal melainkan lisan yang mengucap ikrar sumpah setia.

"Aku kembali untuk merengkuhmu lagi dan lagi."





"Bahtera cintaku sedang berlabuh di laut lepas mencari dermaga untuk segera kusinggahi agar tak karam diterjang badai dan murkanya ombak. Kuharap kamu sang dermaga kukuh nan dermawan bermurah hati merentangkan kedua tangan untuk menyambutku penuh sukacita."
———
•KANG HYEMI•

CANDOR (COMPLETED) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang