Part 10

1 1 0
                                    


"Revealed the pandora's box secret"

Sudah berapa lama ya kira-kira Jungkook tidak menapakkan kakinya di rumah ini? Rumah dua tingkat berwarna putih dihiasi dengan pilar-pilar besar di beberapa sisinya sebagai penunjang kemewahan dan keindahan bagi setiap mata yang memandang. Entahlah, Jungkook terlalu malas untuk memikirkan putaran angka sederhana yang terpatri dalam otaknya.

Toh, selama ini dirinya merasa baik-baik saja tinggal di apartemen miliknya-meskipun terkadang bangunan yang menampungnya itu seolah-olah murka karena Jungkook membuatnya menjadi tak layak huni seperti kandang babi. Berantakan, kotor, dan menjijikan bahkan Yugyeom dan Bambam sering memberinya sumpah serapah untuk menyadarkan dirinya betapa joroknya seorang Jeon Jungkook. Namun, beberapa bulan terakhir apartemen miliknya terasa lebih hidup serta layak ditinggali akibat tangan seorang gadis dibaliknya.

Kini Jungkook hanya memandang rumah di depannya dengan tatapan sulit diartikan. Raut wajahnya begitu datar seolah menyimpan banyak kesakitan dan kekecewaan yang ditumpuk menjadi gunung penderitaan. Beberapa menit hanya ia habiskan dengan berdiri mematung tanpa berniat melangkah ke dalam sana. Terlalu banyak rekam memori yang bersarang dan terkubur begitu saja tanpa sempat dirinya susun rapi dan simpan dalam koleksi kebahagiaan miliknya.

Ia baru sadar saat bahu kanannya di tepuk pelan dari belakang. Di sampingnya kini ada seorang pemuda beberapa tahun lebih tua darinya tengah tersenyum tipis. "Aku kira kau tak akan datang." Namjoon mengenakan celana bahan dan kemeja hitamnya. Kentara sekali ia baru kembali dari kantornya atau barangkali izin sebentar dari pekerjaannya yang menggunung.

Tidak Seokjin, tidak Namjoon, semuanya memang orang-orang kaya yang sibuk sedangkan Jungkook hanya terkatung-katung dengan dosanya yang menumpuk. Di gelari predikat bajingan, brengsek, serta semua koleksi kebun binatang adalah prestasinya selama ini. Jungkook berdeham sesaat menetralkan tenggorokan yang terasa kering lalu mengangguk, "Terpaksa Hyung..." masih saja ia sempat terkekeh pelan.

Namjoon berdecak, sampai kapan adik bungsunya ini memendam dan mendendam luka sendirian. Pada akhirnya ia akan semakin tersakiti karena larut dan terjebak dalam sebuah kenangan absolut. "Ibu pasti senang kau datang ke sini, Kook. Dia pasti bahagia di atas sana melihat anak bungsunya yang semakin dewasa." Namjoon menyematkan senyum lagi, kini tak hanya senyum tipis melainkan senyum ramah dan sedikit rasa bahagia menyempil di sana. Dua lubang di pipinya ikut serta menghiasi dua sisi wajahnya itu.

Jungkook mengangguk lagi, jauh di dalam hatinya dia ingin menangis. Tetapi ia bukan lagi anak lima tahun yang manakala ketika kecil dulu sering berkelahi dengan teman-teman sekolahnya. Di mana ada Seokjin dan Namjoon yang pasti datang menyelamatkannya bak pahlawan dengan kekuatan super. Sudah lama sekali, sekarang ia sudah sebesar ini. Ia bukan lagi seorang bocah yang menginginkan robot iron-man sebanyak satu lemari, bukan lagi anak cengeng yang gemar mengadu pada sang Ibu saat kedua kakaknya tidak mau mengalah padanya.

Memang benar sudah lama sekali, rengkuhan hangat dari telapak tangan milik ibu yang ia rindukan kala dirinya mengigil kedinginan di saat malam-malam panjang bersalju. Pelukan sayang milik ibu yang sering memeluknya saat ia harus dimarahi sang ayah ketika ujian matematikanya mendapatkan nilai rendah, padahal ia sudah berusaha mati-matian belajar dan menahan kantuk matanya hingga pukul dua pagi. Kelembutan bicara sang Ibu lah yang membuat Jungkook merasa ia masih diinginkan di dunia ini saat ibunya dengan penuh senyuman berkata, "Tidak apa-apa Nak, Kookie 'kan sudah berusaha dan belajar. Nanti coba lagi ya."

Jungkook kecil yang terisak-terisak dengan wajah memerah dan ingus yang menghiasi lubang hidungnya itu mengangguk. "Maafkan aku ya Bu, coba saja Kookie pintar seperti Seokjinie dan Namjoonie pasti Ayah sayang padaku kan Bu? Ayah pasti tidak akan memarahiku lagi?! Kenapa kookie bodoh sekali sih." mata bulat Jungkook penuh dengan linang air mata. Napasnya masih tak beraturan karena terisak-isak. Di tangan yang rapuh itu ia mengenggam kertas hasil ujiannya yang sudah terkoyak dan sobek sebagian akibat lemparan dan amukan dari sang Ayah.

CANDOR (COMPLETED) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang