Pria manis itu berdiri di balik pintu, menunggu saatnya berjalan menuju altar. Di antara alunan musik yang lembut, dia bisa mendengar bisikan-bisikan tamu, namun hanya satu hal yang memenuhi pikirannya: langkah besar yang akan segera ia ambil.
Tangannya gemetar, dan ia menatap lantai, mencoba mengatur napasnya yang mulai tersengal. Hatinya bergejolak antara haru dan gugup, sementara pikirannya berkecamuk dengan berbagai pikiran.
Tiba-tiba, ia merasakan tangan yang hangat menyentuh bahunya. Kakaknya berdiri di sampingnya, dengan senyum lembut yang penuh pengertian. "Hei, lihat aku phu" kata nata pelan. "Ini hari yang sudah kamu tunggu-tunggu. Ingat, kamu tidak perlu sempurna, kamu hanya perlu jadi dirimu sendiri." lanjut nata
Suara kakaknya menembus kekhawatiran yang menguasainya, membuat perasaan gugup itu perlahan mencair.
Sambil menggenggam erat tangan kakaknya, phuwin menarik napas dalam, merasakan ketenangan mulai mengalir di dirinya. Tatapan mata kakaknya yang penuh kasih seolah mengatakan bahwa ia tidak perlu takut, bahwa ia dicintai dan didukung sepenuhnya.
Dengan senyum kecil yang mulai kembali di wajahnya, ia merasa siap. Saat pintu terbuka, ia melangkah dengan percaya diri, diiringi rasa tenang yang mengiringi setiap langkahnya menuju altar.
Phuwin mulai melangkah menuju altar, setiap langkahnya terbungkus dalam keheningan yang dipenuhi rasa syukur dan harapan.
Sementara tatapannya tetap terfokus pada sosok di depannya pria tampan yang berdiri membelakanginya, diam dan menunggu, dengan bahu yang tegang seolah menahan debaran hatinya sendiri.
Saat ia semakin mendekat, detak jantungnya terasa semakin cepat. Tangannya sedikit gemetar saat akhirnya mengangkatnya perlahan, menyentuh pundak pengantin pria dengan sentuhan yang penuh kelembutan. Pengantin pria itu berhenti sejenak, menghela napas panjang, dan dengan perlahan berbalik menghadapnya.
Ketika tatapan mereka bertemu, waktu seakan berhenti. Mata naravit dipenuhi haru dan kekaguman yang tak dapat ia sembunyikan. Ia menatap phuwin dengan penuh rasa cinta, seolah dunia di sekitarnya lenyap, hanya ada mereka berdua.
Senyum kecil terbentuk di wajahnya, dan air mata kebahagiaan perlahan menggenang di matanya. Mereka saling menatap dalam hening, tanpa kata-kata, namun seluruh perasaan mereka terungkap dalam tatapan itu, janji, kepercayaan, dan cinta yang siap mereka ikrarkan.
Di hadapan altar, suasana terasa sakral, diiringi dengan hening yang penuh harap. Semua mata tertuju pada pengantin pria, yang tampak sedikit gugup, namun penuh keyakinan.
Udara terasa hangat dan lembut, dengan harum bunga yang mengalir dari dekorasi di sekeliling. Naravit menarik napas dalam-dalam, kemudian memandang phuwin dengan penuh kasih. Dengan suara rendah dan tulus, ia mulai mengucapkan janji sucinya.
"Saya berjanji untuk selalu mendampingi dan mencintaimu, dalam setiap keadaan baik dalam kebahagiaan maupun kesulitan. Saya akan menjadi sahabatmu, kekuatanmu, dan pendukungmu, setiap hari seumur hidupku. Saya berjanji untuk selalu menghormati, mempercayai, dan menjaga hatimu dengan sepenuh hati. Bersamamu, saya menemukan arti cinta yang sejati, dan mulai hari ini, saya berjanji untuk menjalani hidup ini denganmu, dengan sepenuh hati dan jiwa."
Kata-kata itu diucapkan naravit dengan penuh perasaan, diiringi tatapan penuh cinta yang menggetarkan hati setiap orang yang hadir.
Setelah janji diucapkan, keduanya mendekat dan berciuman, mengukuhkan komitmen mereka.
Tamu-tamu mulai tersenyum dan bertepuk tangan dengan antusias, menyebarkan aura kebahagiaan di seluruh ruangan.
Bunga-bunga yang menghiasi ruangan tampak semakin indah di bawah sorotan cahaya lembut, sementara musik romantis mulai mengalun pelan, menambah sentuhan magis dalam momen tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Startel [End]
RomansaNatachai Nalendra Maurer, sosok laki-laki manis yang merasakan rasa sakit yang mendalam di hati nya seperti ada beban berat yang menghimpit tanpa pernah melepaskannya. Di dalam dada, perasaan itu membara sekaligus dingin, mengombang-ambingkan hati a...