28. Kebohongan yang terungkap

1 0 0
                                    

Tiga bulan kemudian ...

Valerie dan Calvin sudah resmi bertunangan. Meskipun awalnya Malik tidak setuju, karena ia masih merasa cucunya masih sangat muda untuk melangkah kejenjang berikutnya (pernikahan) tapi demi sang cucu tercinta ia menerima lamaran dari Calvin.

Sore ini Calvin minta bertemu dengan Valerie,  sebelum ia kembali bertugas ke kota Malang. Sebenarnya lelaki itu tidak sepenuhnya bertugas. Ia membagi waktunya untuk Gladis dan Valerie dengan adil. Seadil-adilnya tetap akan ada hati yang terluka.

Di sepanjang jalan menuju cafe, Valerie terlihat bahagia. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana suatu hari nanti jika Calvin menjadi suaminya.

"Sayang," panggil Valerie.

Calvin yang sibuk menyetir menoleh sebentar. "Iya sayang, kenapa?"

"Nanti pas pernikahan kita, mau gimana acaranya?" bahkan gadis itu sudah mulai membahas soal pernikahannya.

"Em, itu nanti aja ya kita pikirin."

Calvin jadi tidak fokus, pikirannya berkecamuk. Pilihan yang sulit, ia tidak tahu harus merelakan siapa di antara mereka berdua.

"Kamu masih pusing ya? Soal pekerjaan kamu? Capek ya bolak-balik ke luar kota terus?" Valerie mencoba memberi pengertian pada Calvin.

"Ya begitulah," balas laki-laki itu.

Valerie mengusap pundak Calvin, mencoba memberi kehangatan untuknya.

Seperti biasa, saat sampai di cafe mereka memesan makanan sambari berbincang-bincang. Namun, kali ini tidak. Usai Calvin mengangkat telpon, malah keributan yang terjadi.

Calvin pun seperti lelah jika harus berpura-pura terus.

"Cal, kamu kenapa sih? Aku liatin dari tadi kayak orang kebingungan gitu. Ada masalah cerita sama aku."

"Val, udah ya, aku gak mau cari ribut sama kamu. Mendingan kita pulang aja." Ajak lelaki itu.

"Gak mau, kita kan udah ke sini. Katanya kamu mau ngabisin waktu buat aku, sebelum kamu berangkat ke Malang."

"Iya, tapi aku capek. Mending kita pulang sekarang aja."

Valerie tambah bingung dengan sikap Calvin, ia berubah begitu saja. Memang akhir-akhir ini Calvin terlihat cuek, tapi ia tidak seperti ini. Seakan ada hal yang membuat lelaki itu berubah.

"Kok gini? Tiba-tiba, Cal?"

"Aku bilang aku capek, Val!!" Suara Calvin mengeras, Valerie terkejut mendengarnya. Tidak percaya dengan apa yang terjadi barusan.

Dengan sekuat tenaga gadis itu menahan air matanya agar tidak terjatuh. "Cal, kamu ...."

"Aku harus bilang berapa kali sih sama kamu? Aku capek," ucapnya sekali lagi.

Valerie pergi dari tempat itu, tidak peduli lagi dengan pandangan orang lain tentang dirinya. Ia benar-benar kecewa dengan Calvin.

Saat ditelepon, Gladis mengatakan hal yang memancing emosi Calvin. Wanita itu tau, bahwa Calvin orangnya emosional. Wajah ia tahu segalanya, ia mengenal Calvin bukan baru sebulan dua bulan, tapi sudah lima tahun lamanya.

"Kamu kapan ke sini? Kamu bohong kan sama aku? Oh, apa kamu udah punya simpanan di sana? Sampai kamu lupain aku. Janji kamu nikahin aku, Cal. Kamu mau aku kasih tau keluarga kamu, tentang apa yang udah kita lakuin selama ini?"

Kalimat Gladis menghantui pikiran Calvin, ia benar-benar bingung. Tidak tahu harus memilih siapa. Terkesan egois, tapi ia benar-benar mencintai keduanya. Tidak bisa meninggalkan salah satu dari mereka.

Tidak ingin kehilangan jejak Valerie, lelaki itu segera mengejarnya. "Valerie tunggu!" Teriaknya memanggili nama gadisnya. Namun, Valerie tidak peduli soal itu.

Sampai sebuah tangan meraih pergelangan tangannya. "Val, dengerin aku."

"Apa yang perlu aku dengerin dari kamu, Cal? Kebohongan kamu selama ini?"

"Maksud kamu?" Calvin jadi bingung sendiri dengan kalimat yang Valerie lontarkan barusan.

"Jahat kamu, Cal. Udah bohongin aku selama ini."

Calvin paham, ke mana arah pembicaraan Valerie. Gadis itu pasti menyindir dirinya. Tidak tahu darimana gadis itu tahu tentang hubungannya dan Gladis.

"Aku kayak gini karena kamu," katanya enteng.

"Tapi kenapa kamu lakuin ini sama aku?! Harusnya dari awal kamu gak usah janji sama aku, gak usah sok-sokan lamar aku kalo ujungnya bakalan gini," ia tidak bisa menahan dirinya lagi.

Setelah ia cari tahu, ternyata isi dari kotak hitam waktu itu benar. Semua barang-barang yang ada di situ punya Calvin dan kekasih lamanya. Valerie bod*h, telat mengetahui semuanya. Ia juga tidak tahu harus berbuat apa sekarang. Arah untuknya pulang hilang.

"Maaf, Val. Sebenarnya aku gak mau lakuin ini, cuman aku ...."

"Cuman apa? Kalo kamu belum selesai sama masa lalu kamu, jangan pernah cari orang baru dalam hidup kamu. Akhirnya aku cuman dapat janji palsu doang, bukti yang kamu maksud itu ini kan? Jahat kamu, Cal."

Ia tak dapat menahan tangisannya lagi, air itu perlahan jatuh membasahi pipinya. Tapi Valerie berusaha untuk tegar, ia tidak ingin terlihat cengeng. Gadis itu melepas cincin pemberian Calvin, lalu melemparkannya pada lelaki itu. "Aku kembaliin, hubungan kita sampai di sini aja. Aku juga udah capek berpura-pura. Benar kata bi Siti, sakit hati gak seenak jatuh cinta. Makasih, selama hampir tiga tahun ini kamu bertahan sama aku. Sekarang kejar orang yang kamu sebut cinta itu."

Dengan cepat Calvin menarik pergelangan tangan Valerie. "Val, please ikut aku kali ini aja. Biar aku jelasin semuanya sama kamu."

"Gak ada lagi yang perlu dijelasin, Cal. Kita masing-masing aja sekarang, aku pamit. Jaga diri kamu baik-baik, semoga kamu gak ngerasain apa yang aku rasain hari ini."

Gadis itu pergi begitu saja, ia butuh pelampiasan untuk rasa sakitnya.

Berdiri di depan halte, menunggu angkutan umum datang. Saat termenung bayang-bayang kebahagiaannya dan Calvin dulu berputar di dalam ingatannya. Tiba-tiba, ada seseorang yang datang menghampiri Valerie. Dengan pakaian serba hitam lelaki itu mendekat.

"Kenapa?" tanyanya tanpa basa-basi.

Valerie mendongakkan kepalanya ke atas, menatap orang yang berdiri di hadapannya. "David." Segera ia peluk tubuh tinggi itu, seolah-olah ia mencari pelampiasan di sana.

"Hey, kenapa?" tanya lelaki itu sekali lagi.

"Aku—" Valerie tidak bisa menjelaskannya, saat ini ia butuh ketenangan. Rasa kecewanya benar-benar membuatnya hancur.

"Oke, gak usah dijelasin sekarang. Tenangin diri kamu dulu ya. Mau saya antar pulang?" tawarnya.

Valerie tak menolaknya, gadis itu menyetujui ajak kan David.

Di atas motor milik David, Valerie hanya diam. Tak ada sepatah kata pun yang terucap dari mulutnya. David hanya bisa memandangi raut wajah Valerie dari kaca spion.

Melewati kemacetan kota Jakarta di malam hari, akhirnya mereka sampai dikediaman keluarga Malik.

"Val, kita udah sampai," kata David.

Valerie turun, tatapannya kosong, lelaki itu mencoba mengejutkan Valerie dari lamunannya. "Val, hey," panggilannya.

"Ha? Maaf, aku kurang fokus. Em, makasih ya udah nganterin aku pulang."

"Sama-sama, kamu kalo mau cerita, cerita aja sama aku."

Ditulis, 30 Oktober 2024
Dipublish, 30 Oktober 2024

Janji Palsu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang