32. Konsultasi

7 1 0
                                    

Valerie ragu, ia tidak yakin dengan saran David. Gadis itu memanggil nama David. "Dav."

David menoleh sejenak. "Kenapa Val?"

Gadis itu menundukkan kepalanya sebelum benar-benar menatap lelaki itu. "Dav, aku ragu datang ke sana. Maksudnya,kita gak harus  langsung ke psikiater, kan?"

"Emang gak harus, tapi kamu gak mau cerita sama siapapun. Jalan satu-satunya cuman ke sana," jawab David.

"Bukannya harus ke psikolog dulu buat konsultasi sebelum ke psikiater, ya?"

David terdiam, lelaki itu menghentikan mobilnya. "Val, maaf ya. Kalo saya langsung ngambil keputusan kayak gini, saya cuman kasian sama bi Siti," ucapnya.

"Gak papa, mungkin apa yang kamu bilang itu benar. Aku harus konsultasi ke sana, tapi kita pergi ke psikolog aja ya. Karena kan, kita belum tau apa yang terjadi sama aku."

"Iya, tapi sebelum ke sana. Kamu gak mau cerita sedikit aja sama saya?"

Valerie membenarkan posisi duduknya, gadis itu seolah mencari alasan agar David tidak membahas hal itu. "Em, Dav, kita langsung jalan aja yok. Aku udah capek kelamaan duduk," elaknya. 

Mendengar keluhan Valerie, David segera menarik kursi yang ditumpangi Valerie ke belakang. Agar gadis itu bisa beristirahat.

"Sementara di sini dulu ya," kata lelaki itu.

Tak banyak protes, Valerie hanya nurut dan membaringkan tubuhnya.

Perjalanan mereka cukup jauh, akhirnya keduanya sampai di tempat tujuan. David membangunkan Valerie yang tertidur di sana. "Val, bangun," etapi tidak ada respon dari gadis itu.

Menatap wajah Valerie saat terlelap seperti ini,  rasanya tenang. Seakan-akan kesedihan yang gadis itu alami hilang. "Val, andai saat terbangun kamu bisa setenang ketika kamu tidur. Saya gak perlu paksa kamu untuk konsultasi ke psikolog," gumam David pelan.

Jarak wajah keduanya sangat dekat, tiba-tiba Valerie membuka matanya dan melihat bahwa David berada di depan wajahnya. "Aaaa, kamu ngapain?!"

Mendengar teriakkan Valerie, David menjauhkan wajahnya dari gadis itu. "Val, saya gak ngapa-ngapain. Saya cuman pengen bangunin kamu," jelasnya.

"Kamu kalo macam-macam sama aku awas aja!!"

"Saya gak akan berani ngelakuin hal itu sama kamu. Luka yang kamu alami belum sembuh, gak mungkin saya kasih luka baru untuk kamu. Toh, untuk apa juga saya harus bawa kamu ke sini jauh-jauh kalo niat saya seperti itu."

Tak memperdulikan perkataan David lagi, Valerie memutuskan keluar lebih dulu. Sorot matanya terus menatap gedung yang bernuansa putih itu. Dan, beberapa tanaman hias di susun rapih di sana. "Tempatnya tenang banget," ucapnya.

"Val, ayo masuk!" Ajak David. Gadis itu mengangguk lalu mengikuti langkah David dari belakang.

Saat pertama kali ia masuk, banyak orang yang menatap dirinya. Valerie seperti orang ketakutan, dari dulu ia memang tidak suka menjadi pusat perhatian orang lain. Bagaikan ingin diterkam hewan buas. Gadis itu memundurkan satu langkah kakinya ke belakang, namun segera David genggam jemari imut itu.

"Jangan takut, saya ada di sini," ucapnya meyakinkan.

Valerie meremas jemari David, seakan-akan ia ingin berbagi ras takutnya. "Tapi aku ...."

"Shut, jangan bilang apa pun lagi. Kita langsung ke dalam aja ya." Valerie mengangguk sebagai jawaban.

Valerie masuk ke dalam ruangan, sedang David menunggunya di luar. "Semoga dia gak kenapa-kenapa," mohon David.

Sekitar sejam lebih, akhirnya gadis itu keluar juga. David yang sedari tadi menunggu langsung menghampirinya, lelaki itu ingin tahu bagaimana kondisi Valerie saat ini. "Val, gimana?"

"Bahasanya di mobil aja ya," pintanya.

Sesampainya di dalam mobil, David kembali bertanya. "Gimana tadi, lancar kan?"

Valerie mebghelai napas berat. "Katanya aku mengidap Distimia," ujarnya.

David terkejut mendengarnya. "Terus apa lagi?"

"Aku harus ikut psikoterapi (melakukan kombinasi terapi bicara) dan ...."

"Dan apa, Val?"

Valerie menggelengkan kepalanya. "Gak-gak, aku gak boleh kasih tau David. Nanti dia tambah khawatir dan gak fokus kerja," gumamnya dalam hati.

"Bukan apa-apa. Kita pulang yok."

Lega rasanya mengetahui penyebab Valerie seperti itu. Meskipun gadis itu tidak menceritakan sepenuhnya pada David.

Distimia atau disebut juga Persistent Depressive Disorder(PDD) akan menimbulkan perasaan sedih dan putus asa yang berlangsung secara terus-menerus. Perasaan tersebut akan memengaruhi suasana hati serta perilaku pengidapnya. Akibatnya, pengidap kerap kehilangan ketertarikan dalam melakukan hal-hal yang menyenangkan, termasuk aktivitas sehari-hari, bahkan hobinya. 

Hal seperti itu terjadi belakangan ini dengan Valerie, pasca dirinya ditinggal nikah oleh Calvin.

Sebelum pulang ke rumah, David mengajak Valerie untuk berjalan-jalan sebentar. Membawa gadis itu agar ia tidak mengurung diri terus di dalam kamar.

"Val, kalo kita jalan-jalan dulu mau gak?"

"Ke mana?"

"Ikut aja yok, ntar juga kamu tau," balas David.

"Oke."

Sedangkan di tempat lain, bi Siti menunggu kedatangan Valerie dan David. Wanita tua itu sangat cemas, ia tidak bisa berpikir positif, jika dalam situasi saat ini.

"Aduh, Valerie mana ya? Hari udah mulai gelap tapi mereka belum pulang juga," riasunya.

Malik yang baru saja turun dari mobil, lalu melihat bi Siti mondar-mandir di depan teras segera menghampirinya. "Bi, kok jam segini masih di luar. Ngapain?"

Bi Siti tambah khawatir saat mendengar suara Malik. "Em, anu Tuan, itu ...."

"Itu apa, Bi? Coba ngomong yang jelas."

Baru saja bi Siti hendak berbicara, suara klakson mobil Valerie memecahkan ketengan itu. 

Malik menatap tajam ke arah bi Siti, pria paruh baya itu seperti minta penjelasan. "Kenapa Valerie keluar?"

"Anu Tuan ..., Valerie pergi ke ...."

Belum sempat bi Siti menjelaskannya, suara Valerie sudah menyapa mereka. Sepertinya gadis itu sedikit membaik. "Hai semuanya," sapanya.

Tanpa basa-basi lagi, Malik langsung bertanya kepada cucu kesayangannya. "Habis dari mana kamu?"

"Jalan-jalan ngilangin stres," jawabnya.

"Kamu kan belum ...."

"Permisi Kek," sapa David yang baru selesai memasukkan mobil Valerie ke garasi.

"Kamu di sini, Dav?"

"Iya Kek. Tapi abis ajak Valerie jalan-jalan, biar pikirannya rileks. Kata bi Siti kalo di rumah dia ngurung diri di kamar terus," jelasnya.

"Oh gitu, bagus kalo gitu. Sering-sering ya ajak Valerie jalan-jalan, biar dia gak suntuk," saran Malik.

"Boleh tuh, Kek. Rencana sih minggu depan mau camping, sekalian ngajak bi Siti juga. Kakek sama Pak Ferdi mau ikut gak?"

Malik tampak berpikir sejenak, mungkin saatnya ia mengambil cuti kerja. Kapan lagi ia bisa liburan bareng dengan cucunya. "Boleh tuh, atur aja waktunya. Nanti Kakek atur jadwal libur kerja," ujarnya.

"Pak, saya boleh ikut gak?" sambung pak Ferdi di tengah obrolan mereka.

"Boleh dong."

"Wih, asik nih," girangnya.

Semua orang bergembira, tiba-tiba suara Valerie terdengar. "Kek, ada yang mau aku omongin sama Kakek."

Ditulis, 04 November 2024
Dipublish, 04 November 2024

Janji Palsu  (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang