31. Kamu bisa

2 0 0
                                    

Melihat Valerie murung terus, David jadi tidak tega. Lelaki itu berusaha mendekati Valerie, memberikan tempat ternyaman untuknya bercerita. Tapi sayang, gadis itu sudah tidak percaya lagi akan hal itu.

Begitu pun dengan bi Siti, ia seperti kehilangan setengah dirinya dari Valerie. Setiap hari, gadis itu hanya duduk di teras rumah sembari menatap kosong ke arah depan. Bahkan David datang pun tak ia hiraukan.

"Nak David, Bibi bingung. Gimana caranya biar Valerie bisa bangkit lagi dari rasa sakitnya, dia pendam semua rasa sakit itu sendiri," curhat bi Siti.

"Bi, tenang aja ya. Rencananya saya mau ajak dia ke psikiater, barang kali di sana dia bisa mengungkapkan perasaannya."

"Pisikiater? Tapi kan dia ...."

Tiba-tiba Valerie datang di antara mereka. "Kalian bahas apa?" tanyanya.

Sontak David dan bi Siti menatap Valerie secara bersamaan. "Eh, kamu, Val. Gak bahas apa-apa, cuman ngobrol biasa aja," jawab bi Siti.

"Oh," balasnya. Biasanya Valerie akan penasaran, tapi untuk kali ini tidak. Gadis itu melogos masuk ke dalam, meninggalkan David dengan bi Siti.

"Em, Bi kalo gitu saya pamit dulu ya. Besok saya ke sini lagi jemput Valerie," ucapnya.

"Oh iya, hati-hati di jalan ya nak David."

"Iya Bi."

David kembali ke cafe, seperti biasa ia melakukan pekerjaannya. Sebenarnya, David terlahir dari keluarga yang berada. Namun, karena lelaki itu memilih hobinya daripada melanjutkan bisnis keluarga, ia memutuskan untuk keluar dari rumah dan memilih untuk ngekos. Meskipun begitu, keluarga David masih memantau dan mencari tahu tentang aktivitas lelaki itu, keluarganya ingin melihat sampai mana putra mereka bertahan.

Saat sedang tampil, deru ponsel David berdering. Lelaki itu segera izin dengan atasannya untuk mengangkat telpon. "Permisi Pak, saya mau angkat telpon sebentar, boleh?"

"Oh, iya silahkan," jawab pria setengah baya yang mengenakan baju kemeja hitam itu.

"Terima kasih, Pak."

David segera meninggalkan panggung, saat telpon itu di angkat. Suara isak tangis menyambutnya.

"Hallo, kenapa Val?"

"Hallo, nak David ini bi Siti. Tolong Valerie."

Mendengar kalimat itu, David dibuat kaget. Ada apa dengan Valerie? Pertanyaan seperti itu yang terlintas di dalam benaknya.

"Bi, coba Bibi tenang dulu ya. Valerie kenapa?"

Bi Siti menjelaskan semuanya kepada David, lelaki itu jadi panik. Baru saja ia meninggalkan rumah Valerie, tiba-tiba kabar buruk menghampirinya.

"Bi, tenang ya. Jangan panik, saya segera ke sana."
Mau tak mau David harus izin dengan atasannya. Ia tak punya pilihan, saat ini kondisi Valerie lebih penting daripada pekerjaannya.

Usai mendapat izin, David segera melajukan kendaraannya menunju rumah Valerie.

"Val, kamu jahat sama diri kamu sendiri. Gak seharusnya kamu ngelakuin semua ini untuk orang yang gak mikirin tentang betapa hancurnya kamu karena ulahnya," gumam David dalam hati.

Ketika sampai di sana, David langsung masuk begitu saja. Lelaki itu lekas menuju kamar Valerie. "Bi, gimana?" tanyanya. Napasnya terengah-engah, berlari dengan pikiran yang entah ke mana, membuatnya lelah.

"Nak David, tolong Bibi. Valerie tiba-tiba pingsan, Bibi gak tau harus berbuat apa. Di rumah lagi gak ada siapa-siapa," adunya.

"Bibi tenang dulu ya, saya cek dulu kondisi Valerie," walaupun ia bukan seorang dokter. Tapi David pernah belajar soal kesehatan dengan ayahnya dulu. Yaps, ayah David seorang dokter di salah satu rumah sakit di Jakarta.

"Bibi cuman takut Valerie kenapa-napa, nak David."

Kondisi Valerie baik-baik saja, tapi gadis itu kehilangan kesadarannya. David segera mengangkat Valerie ke atas kasur. Gadis itu terjatuh tepat di depan pintu kamar mandi.

"Bi, biarkan dia istirahat dulu ya. Kayaknya dia kecapean."

Bi Siti pun membiarkan Valerie beristirahat, wanita tua itu mengajak David untuk minum teh dan memakan camilan.

Malam yang dipenuhi oleh banyak bintang, di situlah bi Siti mulai bercerita tentang Valerie kepada David. Entah kenapa, saat pertama kali mengenal David wanita tua itu sangat menyukainya, berbeda waktu dengan Calvin dulu. Ia terlalu banyak menaruh curiga pada lelaki yang sekarang sudah berstatus suami orang itu.

***

Seperti janjinya kemarin, David kembali ke rumah Valerie untuk menjemput gadis itu. Sebelumnya ia tidak memberitahu Valerie bahwa gadis itu akan dibawa ke pisikiater.

"Kita mau ke mana sih?" tanya Valerie saat mereka masih duduk di teras rumah.

"Nanti kamu juga tau. Saya mau bawa kamu ke tempat yang bisa bikin kamu tenang."

Tak banyak tanya lagi, Valerie segera bersiap-siap. Namun, saat mereka hendak pergi gadis itu kembali bertanya. "Eh, tunggu dulu, ini mau pake motor atau mobil?"

"Kamu maunya pake apa? Saya gak punya mobil, saya cuman punya motor," ujar David.

"Pake punya aku, motor kamu ditinggal di sini gak papa kan?"

"Gak papa lah, kan ada bi Siti."

Sesuai kesepakatan mereka berdua, akhirnya Valerie membawa mobilnya. Gadis itu duduk tenang di samping pengemudi. "Val, kalo saya ajak kamu ngobrol-ngobrol sama psikiater mau gak?" David bertanya dengan hati-hati

Akan tetapi, Valerie malah marah. "Kamu pikir aku gila ha? Aku masih waras ya," semenjak ditinggal nikah. Gadis itu jadi mudah tersinggung dengan perkataan orang lain mengenai dirinya, padahal dulu ia tidak seperti itu.

"Maksud saya bukan gitu, saya cuman pengen kamu kembali seperti dulu. Kasian bi Siti, dia kehilangan diri kamu yang ceria. Sekarang kamu lebih suka murung, mengurung diri di dalam kamar berhari-hari. Dia khawatir soal kesehatan kamu, Val."

Valerie diam, ia tak menyengkal lagi. Kalau dipikir-pikir, apa yang David katakan benar. "Tapi kenapa harus ke psikiater?"

"Biar langsung ditangani kalo kamu kenapa-napa, karena kalo ke psikolog kamu cuman ditanya-tanya doang. Gak bisa ditindak lanjut kalo kenapa-napa," jelas David.

Gadis itu menghela napas panjang. Ia seperti lelah menjalani hari-hari yang tanpa gairah, bahkan gara-gara hal itu, kuliahnya jadi terbengkalai. Aktivitasnya pun, jadi berantakan. Bahkan kucing peliharaannya tak ia urus lagi, untung masih ada bi Siti yang mengurusnya.

"Tapi aku takut," gumamnya pelan.

"Saya ada di sini. Saya gak bisa janji kalo selalu ada di samping kamu, tapi akan saya usahakan."

Valerie menatap David dengan lekat, lalu membuat pandangan itu ke sembarang arah. Ia tidak ingin terlalu lama menatap mata indah lelaki itu.

"Apa yang David katakan berbeda dengan Calvin, tapi aku masih gak bisa percaya. Kenapa harus aku yang mengalami semua ini?" katanya dalam hati.

"Tenang ya, jangan terlalu dipikirin. Rileks aja, saya yakin kamu pasti bisa kembali seperti dulu lagi. Kamu hanya perlu waktu untuk sembuh."

"Dav, makasih ya," ujar Valerie.

"Iya, sama-sama."

Ditulis, 03 November 2024
Dipublish, 03 November 2024


Janji Palsu  (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang