29. Murung

7 0 0
                                        

Sudah beberapa hari ini Valerie jarang keluar kamar, gadis itu mengurung diri. Malik yang tahu cucunya dipermainkan sangat marah, tapi ia tidak bisa mengambil tindakan semaunya. Pria itu masih memikirkan tentang cucunya. Jika ia salah langkah, Valerie yang jadi taruhannya.

Suara ketukan pintu sedari tadi terus berbunyi. Bi Siti meneriaki nama Valerie, tapi tidak ada jawaban dari sang empu.

"Valerie, ayo keluar sayang. Kamu udah dua hari di kamar terus," bi Siti berusaha menyuruh gadis itu keluar. Namun, tidak ada respon dari sang empu. Khawatir karena Valerie enggan keluar juga. Bi Siti segera menelepon Malik, tapi ponselnya tidak aktif. Wanita paruh baya itu pun semakin panik.

Ia segera berlari keluar, mencari keberadaan Ferdi. "Ferdi, Ferdi," teriak bi Siti.

Ferdi yang berada di teras rumah segera menghampiri bi Siti. "Iya, ada apa, Bi?"

"Tolong saya, tolong dobrak pintu kamar Valerie. Dari kemaren dia gak keluar-keluar, saya panggil pun gak dijawab. Saya takut dia ...."

"Bi, tenang dulu ya. Tarik napas, buang. Bibi gak usah mikir yang macam-macam, sekarang kita ke kamarnya aja, cek keadaan dia." Wanita itu mengangguk paham, mereka berdua pun menuju kamar Valerie.

Percobaan pertama gagal, Ferdi pun terus mencobanya. Sampai akhirnya pintu itu terbuka lebar, ketika pintu terbuka terlihat Valerie tergeletak dilantai. Bi Siti langsung memanggku gadis itu dalam pelukannya. "Valerie bangun sayang. Kamu kenapa jadi gini sih?"

"Bi, kita bawa ke rumah sakit aja, yok." Ajak Ferdi, tanpa pikir panjang bi Siti menyetujuinya. Valerie sudah berada digendongan Ferdi. Pria setengah baya itu segera memasukkan Valerie ke dalam mobil.

Ketika hendak keluar dari kamar Valerie, deru ponsel Valerie berdering. Wanita paruh baya itu mendekatinya. Mengecek siapa yang menghubungi Valerie. Tertera nama David di sana. "Ini siapa?" banyak pertanyaan yang ingin bi Siti lontarkan pada Valerie. Tapi, mengingat gadis itu sedang kehilangan kesadarannya membuat bi Siti menguraikan niatnya. "Ah, mending aku bawa aja henphonenya, nanti kalo dia udah sadar baru aku tanya." Segera ia turun menemui Ferdi yang tengah menunggu di bawah sana.

"Ayo, Fer, berangkat." Ferdi mengangguk sebagai respon.

Sedangkan di tempat lain, Calvin dan Gladis sedang melakukan acara lamaran mereka. Terlihat jelas, raut bahagia dari Gladis terpancarkan. Sedangkan Calvin seperti orang kebingungan. Usai acara tukaran cincin, Calvin di seret keluar oleh ibunya.

"Cal, apa yang kamu lakuin? Kamu khianati Valerie? Cewek sebaik dia kamu sakitin? Kurangnya Valerie apa sih, Cal? Jawab mamah!!" wanita setengah baya itu kecewa dengan kelakuan putranya. Ia berharap Valerie yang akan menjadi menantunya. Tapi ....

"Maafin aku Mah. Aku bingung, di satu sisi, Gladis cinta pertama aku. Tapi aku juga gak bisa ninggalin Valerie, aku gak bisa milikin mereka berdua dalam waktu yang bersamaan, Mah."

Wanita setengah baya itu menatap sini ke arah putaran, sebelum pergi ia mengucapkan satu kalimat. "Kamu egois, Cal."

Calvin hanya bisa menundukkan kepalanya, tidak berani menatap wanita yang sudah melahirkannya. Ia sudah membuat wanita itu kecewa. "Maafin aku, Mah," gumamnya pelan.

Tiba-tiba suara Gladis terdengar. "Sayang, ayo kita foto-foto," ajak gadis itu.

Calvin menatapnya sejenak. "Iya," katanya.

Di hari kebahagiaan Calvin dan Gladis, itu menjadi hari tersakiti bagi Valerie.

***

"Val, kamu udah sadar? Kamu kenapa sayang?" tanya bi Siti.

Valerie masih diam, ia tidak ingin bicara dengan siapapun untuk saat ini. Pikirannya masih tertuju pada Calvin. Melihat keadaan Valerie yang semakin hari makin memburuk, bi Siti jadi tidak tega. Baginya Valerie itu seperti anaknya sendiri.

Ponsel wanita itu berdering, itu telpon dari Malik. Segera ia angkat, dan menjauh dari Valerie.

"Hallo."

"Bi, gimana keadaan Valerie sekarang?"

"Dia udah sadar, tapi pas Bibi ajak ngomong dia gak mau jawab."

"Ya, udah. Habis dari kantor saya langsung ke rumah sakit."

"Iya."

Pembicaraan singkat itu pun berakhir, bi Siti kembali menemani Valerie. Saat masuk ke dalam ruangan Valerie, gadis itu termenung sambil menatap ke arah luar jendela. Bi Siti mendekati Valerie. "Val, kita makan dulu yok. Abis itu minum obat." Tak ada jawaban, Valerie hanya menatap ke arah bi Siti sekilas.

Berbagai usaha sudah wanita itu lakukan, tapi tidak ada yang berhasil. Valerie yang ia kenal sekarang tidak seperti Valerie yang dulu. Raut wajah cerianya hilang, bak ditelan bumi.

Bi Siti menghelai napas panjang. "Val, ada yang mau Bibi tanyain sama kamu."

Valerie menoleh, lalu berkata. "Apa," jawabnya singkat.

"Waktu kamu pingsan, ada yang nelpon kamu. Namanya David, dia siapa, Val?"

"Bukan siapa-siapa," balasnya.

Bertanya pada Valerie saat ini bukan waktu yang tepat, gadis itu pasti tidak akan menjelaskannya. Bi Siti hanya bisa sabar menunggu gadis itu bercerita kembali seperti dulu lagi.

Baru saja dibicarakan, deru ponsel Valerie berdering. Masih nama yang sama tertera di sana. Bi Siti mengambil ponsel Valerie dari tasnya, lalu memberikan kepada pemiliknya. "Val, dia nelpon lagi."

"Biarin aja, Bi. Aku lagi malas ngomong."

Ini kesempatan untuk bi Siti, bukan ingin bermaksud lancang. Barang kali orang yang terus menelponi Valerie itu bisa membantu gadis itu untuk tersenyum kembali. Wanita itu izin keluar, lalu mengangkatnya diam-diam.

"Hallo, ini siapa ya?"

"Hallo, saya David, Bu. Temannya Valerie, Valerie-nya ada?"

"Justru itu, Valerie lagi sakit. Sekarang dia lagi dirawat di rumah sakit pondok indah."

"Dia sakit apa, Bu?"

Bi Siti diam sejenak, lalu kembali bersuara. "Kalo mau tau, datang aja ke sini," serunya.

"Baik, Bu. Saya akan ke sana, terima kasih informasinya."

"Iya, sama-sama."

Panggilan itu pun berakhir, saat hendak masuk ke dalam. Malik datang dengan membawa sebuah kotak kecil.

"Bi, gimana dengan Valerie?" tanya Malik.

Helaian napas bi Siti seperti sebuah jawaban dari pertanyaan Malik barusan. "Dia gak mau makan, saya tanya pun gak mau jawab. Dia bilang lagi gak mau ngomong sama siapa-siapa untuk sekarang."

Mendengar itu, Malik pun jadi ikut sedih. Cucu kesayangannya yang ceria kini telah berubah menjadi gadis murung. "Huf, saya gak tau harus ngapain lagi, Bi."

"Kita sabar aja ya, Valerie pasti bakalan kembali kayak dulu lagi. Dia butuh waktu untuk sembuh dari luka hatinya." Malik mengangguk paham.

"Ya udah, kalo gitu Bibi pulang dulu aja, istirahat. Biar saya yang gantian jagain Valerie," seru pria tua itu.

"Ah, gak usah. Saya mau jagain Valerie juga. Lagian di rumah sepi, mendingan saya di sini," ucapnya.

"Ya udah deh, seterah Bi Siti aja. Yok masuk."

Ditulis, 01 November 2024
Dipublish, 01 November 2024

Janji Palsu  (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang