Fajar mulai menembus jendela kamar Titiek, menyelinap di antara tirai yang setengah tertutup. Sinar lembutnya membelai wajah, seolah membangunkan dengan bisikan yang tak terdengar. Di luar sana, embun masih menggantung di ujung dedaunan, sementara dunia perlahan-lahan terjaga dari tidurnya. Pagi ini terasa berbeda seperti ada sesuatu yang akan berubah, meski tak seorang pun bisa memastikan apa.
Titiek mengucek matanya, wanita itu terbangun perlahan, kelopak matanya bergetar sebelum akhirnya terbuka sepenuhnya. Tubuhnya masih terasa berat, seperti terbungkus dalam selimut kelelahan yang menolak untuk dilepaskan. Napasnya terdengar lembut di pagi yang sunyi, sementara pikirannya mulai mengumpulkan potongan-potongan mimpi yang samar-samar. Cahaya matahari yang masuk melalui celah jendela menerangi wajahnya, membawa kehangatan yang perlahan mengusir sisa-sisa kantuk.
Ia kemudian baru mengingat setelah subuh tadi tertidur kembali karena hampir dini hari ia baru bisa memejamkan matanya. Kakinya mulai menapaki lantai, hendak berjalan keluar kamar, namun langkahnya terhenti didepan bingkai foto pernikahan. Kemudian diambil nya foto tersebut.
Wanita itu berdiri mematung, memandangi foto di tangannya. Jari-jarinya yang gemetar menyusuri tepian bingkai, seolah merasakan kembali hangatnya momen dalam gambar itu. Senyum mereka di foto tampak begitu sempurna penuh kebahagiaan, tanpa beban. Matanya kini berkabut, menahan perasaan yang bergejolak di dadanya. Ia kemudian meletakkan kembali bingkai foto tersebut, berusaha sekuat tenaga menahan agar air matanya tak jatuh. Ia segera berjalan menuju ruang makan.
Seperti biasa, keluarga besarnya selalu melakukan rutinitas makan bersama setiap hari.
"Sudah bangun nak, kemarilah" sambutan hangat dari ibu Tien yang tak lain adalah ibunya sendiri. Pelayan kemudian ingin menarik kursi agar Titiek bisa segera duduk, namun Titiek menolak dengan mengangkat tangannya.
"Tidak apa, biar saya saja mba" ucap Titiek kepada seorang pelayan tersebut.
Di ruang makan megah yang disertai lampu kristal, keluarga itu duduk mengelilingi meja panjang dari marmer, dipenuhi dengan aneka hidangan mewah. Ayah, dengan postur tegasnya, memulai percakapan.
"Bagaimana kegiatan kalian kemarin? Semuanya baik-baik saja, kan?" Soeharto memulai membuka percakapan, suaranya tenang tapi penuh wibawa.
Siti Hardijanti atau dikenal dengan Tutut anak pertama dari Soeharto menyambung percakapan ayahnya.
"Alhamdulillah, Bapak. Kegiatan di yayasan berjalan lancar. Kami sedang merencanakan program baru untuk membantu petani.""Bagus, itu penting. Pertanian adalah tulang punggung negara ini. Jangan lupa selalu utamakan kepentingan rakyat." jawab Soeharto
"Pak, saya sedang memikirkan pengembangan bisnis baru di sektor otomotif. Mungkin bisa bantu meningkatkan industri dalam negeri." Tommy menjelaskan dengan semangat terkait rencananya kedepan.
Soeharto mengangguk pelan "Selama itu bisa membuka lapangan kerja dan bermanfaat bagi bangsa, jalani. Tapi ingat, jangan lupa tanggung jawabmu."
"Saya sedang mendalami proyek telekomunikasi, Pak. Teknologi akan semakin penting ke depan. Kita harus bisa mandiri di sektor ini." sambung Bambang
"Bagus, tapi tetap harus kita kuasai dengan cara yang benar. Pastikan itu." ucap Soeharto menegaskan.
Namun ada kesunyian di balik percakapan keluarga dan kemewahan yang menyelimuti ruangan itu. Titiek duduk diam, pandangannya terarah pada keluarga yang saat ini sedang sibuk membicarakan pekerjaan. Meski ia tahu dirinya selalu menjadi anak kesayangan, perasaan kecewa menggelayuti hatinya. Baginya, perhatian Soeharto lebih banyak tercurah pada negara daripada keluarga. Titiek selalu bangga pada sosok ayahnya yang tegas dan bijaksana, namun ada saat-saat di mana ia merasa terabaikan. Seperti sekarang ini, dimana ia sebentar lagi menghadapi masa persalinan, tapi tidak ada sedikitpun kebijakan dari ayahnya untuk membuat suaminya pulang, alasannya karena tugas negara. Tidakkah ayahnya itu berfikir dari sejak awal ia mengandung sampai menuju masa persalinan ia juga mengorbankan dirinya untuk menahan kerinduan terhadap suaminya, melewati masa hamil dan mengidam sendirian. Apa permintaan agar suaminya pulang menemani masa persalinan sangat berat untuk dikabulkan?
"Nak, kapan dokter memperkirakan persalinan mu?" pertanyaan itu kemudian muncul dari Ibu Tien kepada Titiek.
"Kurang lebih satu Minggu lagi" ucap Titiek singkat
"Nanti bapak akan menemani persalinanmu nduk" seru Soeharto
Titiek menarik napas panjang, pundaknya seolah meluruh, bukan jawaban itu yang ia harapkan. Ia kemudian meletakkan sendok dan garpu yang sejak tadi digenggamnya. Sedari tadi ia berusaha menahan amarahnya, namun kekesalannya selama beberapa bulan ini tidak bisa lagi ia bendung. Ia menatap ayahnya sedikit tajam.
Titiek akhirnya membuka suara dengan emosi yang sudah menumpuk. "Pak, kenapa mas Bowo belum bisa pulang? Berbulan-bulan saya menunggu kabar, tapi tidak ada perkembangan sama sekali. Saya pikir, sebagai Presiden, Bapak pasti bisa melakukan sesuatu!"
Mendengar ucapan Titiek, Soeharto kemudian meletakkan alat makannya. Dengan tetap tenang Soeharto menjawab.
"Titiek, kamu harus mengerti. Prabowo berada di medan tugas. Sebagai prajurit, dia punya tanggung jawab pada negara, sama seperti prajurit-prajurit lainnya."Mendengar penjelasan ayahnya, Titiek kemudian menaikkan nada suaranya.
"Tapi ini bukan tentang prajurit lain, Pak! Ini suami saya! Saya butuh dia. Apa tidak ada cara supaya dia bisa dipulangkan lebih cepat?"Soeharto sedikit mengernyitkan dahi
"Kamu pikir Bapak tidak ingin dia pulang? Bapak juga tidak suka melihat keluargamu menderita. Tapi Prabowo memilih jalan ini, dia tahu risikonya. Kamu juga harus kuat seperti dia." ucap SoehartoTitiek menahan tangis, dengan nada kecewa.
"Tapi saya istri dan sebentar lagi saya akan menghadapi persalinan, antara hidup dan mati, Pak. Saya hanya ingin suami saya kembali ke rumah. Apakah itu terlalu banyak untuk diminta?"Soeharto menatap Titiek dengan pandangan penuh kebijaksanaan.
"Tidak, itu tidak berlebihan. Tapi sekarang, kita semua harus bersabar. Negara memanggilnya, dan dia harus menjawab panggilan itu. Bapak berjanji, jika ada kesempatan, Bapak akan lakukan yang terbaik untuk membantu."Titiek menunduk, sambil menyeka air mata, ia kemudian berdiri dan berlalu dari meja makan menuju kamar dengan tangisan yang tak lagi terbendung.
.
.
.
.
.
Temen-temen jangan lupa untuk vote dan tinggalkan komen yaaa, biar aku semangat nulisnya ✨

KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak sang Jendral
Fanfiction"Saya pernah mengalami hujan peluru demi negara yang saya cintai" - Prabowo Subianto Apa jadinya jika kecintaannya terhadap negara justru membuatnya kehilangan sebuah keluarga?