Presiden Soeharto melangkah pelan meninggalkan Istana Negara. Biasanya, langkahnya tegas, penuh wibawa, tetapi kali ini ada sesuatu yang hilang, beban yang tidak bisa disembunyikan meski wajahnya tetap tenang. Para staf dan pengawal memberi hormat tanpa kata, seolah memahami bahwa ini bukan saatnya bicara.
Dalam perjalanan pulang, mobil dinas melaju perlahan. Soeharto hanya menatap keluar jendela, hatinya berat, pikirannya penuh oleh kabar duka yang baru saja diterimanya. Lettu Sudaryanto, seorang perwira muda yang ia kenal dan hormati, telah gugur di medan pertempuran. Pemuda itu penuh semangat, matanya menyala dengan keyakinan akan masa depan. Kini, semangat itu terhenti, bukan karena hilang, tetapi karena ia telah menyerahkan segalanya demi merah putih.
Ketika mobil berhenti di halaman rumah, Soeharto turun tanpa berkata-kata. Ajudannya, Kolonel Safrie, mengikuti di belakang, membawa berkas yang berisi laporan tentang kejadian di medan perang. Namun, Soeharto tidak memintanya membaca laporan itu. Ia berjalan lurus menuju ruang kerjanya.
Di ruang kerja yang sepi, ia duduk di kursi yang biasa ia gunakan untuk menulis pidato. Tangannya meraih sebuah pena, tetapi ia hanya diam, menatap kertas kosong di depannya. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tetapi semuanya terasa sia-sia.
Ia kemudian beranjak dari ruang kerjanya, melangkah perlahan menyusuri lorong rumah, menuju kamar di mana Titiek sedang duduk di kursi goyang. Perutnya yang besar menunjukkan usia kehamilan yang hampir mencapai puncaknya. Titiek tengah mengusap lembut perutnya sambil tersenyum kecil, berbicara lirih pada calon buah hatinya, seolah dunia luar tak mampu menembus kebahagiaan sederhana itu.
Namun, Soeharto tahu ia membawa kabar yang akan mengubah suasana.
"Nduk..." panggil Soeharto lembut, menghentikan langkahnya di ambang pintu. Titiek menoleh, menyambut ayahnya dengan senyum hangat. Tetapi begitu mata mereka bertemu, senyumnya pudar. Ada sesuatu di mata Soeharto kesedihan yang jarang sekali terlihat, namun kali ini tak mampu ia sembunyikan.
"Ada apa, Pak?" tanya Titiek, nadanya penuh kekhawatiran.
Soeharto menarik napas panjang, lalu duduk di samping putrinya. Ia menggenggam tangan Titiek, hangat namun tegas, seperti hendak menyampaikan kekuatan di balik rasa duka yang berat. "Lettu Sudaryanto... gugur di medan pertempuran."
Hening. Kabar itu terasa seperti gelombang besar yang menghantam keras. Titiek menunduk, matanya mulai berkaca-kaca. Sudaryanto adalah sahabat dekat keluarga mereka, seorang perwira muda yang memiliki hubungan istimewa dengan suaminya, Prabowo. Kabar ini tentu lebih dari sekadar kehilangan.
Soeharto melanjutkan dengan suara rendah namun penuh keyakinan, "Prabowo sudah mengambil alih posisi sebagai wakil komandan di sana. Ia siap melanjutkan perjuangan rekan-rekannya."
Titiek menggigit bibir, menahan tangis. Ia tahu betapa beratnya situasi di Timor Timur. Setiap keputusan adalah taruhan antara hidup dan mati. Tetapi ia juga tahu, suaminya tidak akan mundur, tidak akan lari dari tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
"Pak..." Titiek berkata pelan, matanya penuh harap. "Tolong jaga Prabowo. Dia adalah ayah dari anak ini." Tangannya yang lain kini mengusap perutnya, seolah meminta janji bahwa suaminya akan kembali untuk melihat kelahiran anak mereka.
Soeharto mengangguk perlahan, wajahnya tetap tenang meski hatinya bergejolak. "Prabowo adalah prajurit sejati. Ia tahu apa yang harus dilakukan. Kita hanya bisa berdoa agar Tuhan melindunginya."
Di luar, senja mulai menampakkan diri, angin nya berhembus perlahan membawa suara doa dari ruang itu. Sebuah doa yang bukan hanya untuk Sudaryanto, tetapi juga untuk Prabowo dan semua prajurit yang masih berdiri tegak di garis depan perjuangan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak sang Jendral
Fanfiction"Saya pernah mengalami hujan peluru demi negara yang saya cintai" - Prabowo Subianto Apa jadinya jika kecintaannya terhadap negara justru membuatnya kehilangan sebuah keluarga?