Terdengar suara salah satu saudara Titiek dari balik pintu.
Prabowo segera berdiri dan membuka pintu, memperlihatkan wajah-wajah penuh antusias. Kakak dan adik Titiek berdatangan, membawa senyum dan bingkisan kecil untuk menyambut kelahiran sang bayi. Ruangan yang tadi terasa hangat kini menjadi lebih ramai dengan tawa dan obrolan ringan."Bagaimana kabarnya, Titiek?" salah seorang saudaranya bertanya sambil mendekati ranjang.
Titiek mengangguk sambil tersenyum lemah. "Alhamdulillah, semuanya baik. Bayinya sehat." Ia melirik bayi kecil yang terbaring tenang di pelukannya.
"Sudah ada nama, mba?" tanya adik Titiek yang bernama Mamiek dengan penuh rasa ingin tahu.
Prabowo, dengan bangga, menjawab, "Ragowo Hediprasetyo Djojohadikusumo ." Mendengar itu, saudara-saudara Titiek serempak mengangguk, memuji pilihan nama yang terdengar kuat dan bermakna dalam.
Percakapan terus berlanjut, penuh canda dan kebahagiaan. Malam itu, di ruang rawat yang sederhana, keluarga besar mereka merayakan kelahiran seorang penerus dengan doa, harapan, dan cinta yang melimpah. Tak lupa juga berfoto bersama untuk mengabadikan moment paling bersejarah untuk pasangan yang sedang berbahagia. Titiek dan Prabowo.
.
.
Setelah hari yang panjang dan penuh keajaiban, rumah sakit akhirnya hening. Bayi yang baru lahir telah tertidur lelap di dekapan Titiek, dan satu per satu keluarga meninggalkan ruangan, memberikan ruang bagi mereka berdua. Hanya Prabowo yang tetap tinggal, duduk di kursi samping ranjang dengan tatapan yang tak beralih dari istri dan anaknya."Sayang," Prabowo membuka pembicaraan dengan lembut, tangannya menggenggam tangan Titiek yang mungil. "Di medan tempur, aku hanya bisa membayangkan... Kamu dan anak kita. Aku ingin tahu, apa yang terjadi selama aku tidak di sini? Apa yang kamu hadapi?"
Titiek terdiam sejenak, sorot matanya berubah, ada kehangatan, tetapi juga bayangan kepedihan yang ia coba sembunyikan. Ia menarik napas panjang sebelum berbicara.
"Mas, kehamilanku ini... tidak sepenuhnya berjalan tenang," ia memulai, suaranya pelan namun menggigit. "Aku pernah bicara dengan Bapak. Aku memohon agar Mas bisa pulang, walau hanya sebentar saja, melihatku sebelum bayi ini lahir. Kupikir, itu tidak terlalu berlebihan, mengingat kondisiku."
Prabowo tertegun, alisnya bertaut. "Apa yang Bapak katakan?"
Titiek tersenyum tipis, getir. "Katanya, seorang prajurit tidak bisa memilih kapan berjuang dan kapan pulang. Tugas negara harus diutamakan. Aku tahu bapak benar, tapi..." Titiek berhenti sejenak, matanya kini berkaca-kaca. "Aku hanya seorang istri yang ingin suaminya ada di sampingnya saat segalanya terasa begitu berat."
Prabowo menunduk, matanya gelap oleh rasa bersalah. "Sayang, aku..."
Titiek menggenggam tangannya lebih erat, menghentikan kata-katanya. "Mas tidak perlu merasa bersalah. Aku tahu siapa Mas sebenarnya. Aku tahu betapa pentingnya apa yang Mas lakukan untuk negara ini. Hanya saja, kadang aku lupa kalau aku harus berbagi Mas dengan ibu pertiwi."
Keheningan kembali menyelimuti ruangan, kali ini penuh emosi yang tidak diucapkan. Prabowo menunduk, lalu mengecup tangan Titiek dengan penuh kasih. "Aku minta maaf. Aku janji, setelah ini, aku akan lebih sering ada untuk kamu dan anak kita. Negara memang butuh aku, tapi kamu adalah alasan aku berjuang."
Titiek tersenyum lagi, kali ini lebih hangat. "Aku percaya, Mas. Kamu tetap suamiku, ayah dari anakku. Itu sudah cukup."
Malam itu, dalam keheningan yang damai, keduanya merasa lebih dekat dari sebelumnya, bukan hanya sebagai pasangan, tetapi sebagai dua jiwa yang saling memahami perjuangan masing-masing.
"Mas..."
.
.
.
.
.
Titiek mau ngomong apa kira-kira yaaa? 🫣

KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak sang Jendral
Fanfikce"Saya pernah mengalami hujan peluru demi negara yang saya cintai" - Prabowo Subianto Apa jadinya jika kecintaannya terhadap negara justru membuatnya kehilangan sebuah keluarga?