Prabowo akhirnya tiba di hadapan Lettu Sudaryanto, yang terbaring lemah di antara puing-puing pertempuran. Meskipun tubuhnya terluka parah, tatapan matanya masih tajam, menandakan bahwa kesadarannya belum sepenuhnya hilang. Nafasnya tersengal-sengal, namun semangat juang di dalam dirinya belum padam. Prabowo berlutut di sisinya, menggenggam tangan sang letnan yang dingin dan penuh luka.
"Komandan, kau masih di sini," Prabowo berbisik, suaranya bergetar antara lega dan duka.
Dengan sisa tenaganya, Lettu Sudaryanto tersenyum samar, "Aku belum menyerah. Kita belum kalah."
Mata Prabowo berkaca-kaca, ia tahu bahwa meski tubuh komandan nya hampir tak berdaya, jiwa kepahlawanan masih teguh. Mereka mungkin telah melewati neraka, namun ikatan persaudaraan dan tekad mereka akan selalu hidup, selamanya.
Prabowo, dengan wajah keras dan napas yang berat, mulai mengangkat tubuh Sudaryanto yang terkapar lemah.
Sang sniper mengamati setiap gerakan Prabowo. Jantungnya berdegup cepat, tangannya sudah siap menarik pelatuk, namun sesuatu di dalam dirinya mulai goyah. Ia melihat ketulusan di mata Prabowo, tekad yang tak tergoyahkan untuk menolong rekan seperjuangannya, bahkan di tengah hujan peluru.
Sniper itu ragu. Tugasnya jelas menghabisi target tanpa belas kasih namun hatinya mulai berbisik lain. Ia telah melihat banyak orang melawan, banyak yang takut dan putus asa, tapi Prabowo berbeda. Ada pengorbanan yang nyata, keberanian yang tidak bisa diabaikan.
Jarinya yang terlatih mengendur dari pelatuk. Napasnya tertahan. Ia tak tega. Dalam sekejap, ia menyadari bahwa ia tak mampu menarik pelatuk itu pada seseorang yang begitu setia pada tugasnya, seseorang yang rela menukar nyawanya demi seorang kawan. Prabowo telah memenangkan sesuatu yang lebih besar dari pertempuran ini ia telah memenangkan hati seorang musuh yang tak pernah ia kenal.
Komandan Fretilin berdiri tegar di balik perlindungan semak-semak, matanya tajam mengawasi setiap gerakan musuh. "Sekarang! Tembak sekarang!" desaknya penuh ketegangan, suaranya rendah namun tegas.
Sniper itu membidik melalui teropong, garis pandangnya tepat di dada Prabowo yang sedang berjuang mengangkat tubuh Sudaryanto. Tangannya gemetar, bukan karena takut, tapi karena sesuatu yang lebih dalam, rasa enggan. Perintah dari komandan Fretilin telah jelas, "Tembak sekarang!" Namun, jari telunjuknya berhenti di ujung pelatuk.
"Senjataku... macet," gumamnya pelan, cukup keras untuk didengar oleh sang komandan di sebelahnya. Komandan Fretilin meliriknya tajam, matanya dipenuhi kecurigaan. "Apa yang kau bilang?" tanyanya dengan nada tegas.
Sniper itu berpura-pura memeriksa senjatanya, meski di dalam hati ia tahu, pelatuk itu bekerja sempurna. "Tak bisa... maaf," jawabnya, berpura-pura panik.
Sebenarnya, yang membuatnya macet bukanlah senjatanya, melainkan hatinya. Membunuh dalam peperangan adalah hal biasa, tapi kali ini, ada sesuatu yang menghentikannya. Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
.
.
.
.
.
Banyakin vote ya yuuk, biar admin semangat update 🥰

KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak sang Jendral
Fanfiction"Saya pernah mengalami hujan peluru demi negara yang saya cintai" - Prabowo Subianto Apa jadinya jika kecintaannya terhadap negara justru membuatnya kehilangan sebuah keluarga?