Demi Negeri Ini

347 42 0
                                    

Lettu Sudaryanto berdiri tegak di tepi sungai, memandang ke depan dengan mata tajam, sementara kabut tipis menyelimuti permukaan air yang mengalir. Suara arus sungai tak mampu menutupi hiruk-pikuk persiapan di belakangnya, namun di dalam hatinya, hanya ada ketenangan. Dia tahu betul bahwa di garis terdepan inilah nasib pasukannya dipertaruhkan. Tugasnya adalah membawa mereka menyeberangi sungai ini penghalang pertama sebelum mereka mencapai musuh.

“Siapkan barisan,” perintahnya, suaranya tegas. Pasukan di belakangnya bergerak serempak, siap mengikuti komando tanpa ragu. Mereka percaya penuh pada Lettu Sudaryanto, pemimpin yang selalu maju lebih dulu, tak pernah mundur. Dengan satu anggukan, dia memberi tanda, dan mereka mulai bergerak perlahan, memasuki air dingin yang menggigit. Di seberang sungai, kegelapan menyembunyikan apa yang menunggu, tapi dengan Sudaryanto di depan, mereka yakin tak ada rintangan yang tak bisa dilalui.

Para prajurit bergerak dalam senyap, hanya suara gemericik air yang mengalir di bawah kaki mereka yang terdengar. Sungai yang mereka seberangi adalah jalur yang dipilih dengan cermat, satu-satunya jalan yang memungkinkan untuk mendekati kota Mabuara. Di seberang sungai, ketinggian kota menjulang, benteng alami yang selama ini tak tersentuh. Dengan setiap langkah yang mereka ambil, jantung mereka berdegup kencang, menyatu dengan desiran aliran air. Mereka tahu bahwa keberhasilan misi ini akan mengubah segalanya. Mendaki ke puncak bukit berarti menghadapi pasukan musuh yang siap bertahan mati-matian, namun mereka tak gentar. Di bawah bayangan malam, mereka bergerak maju, menyusun rencana untuk merebut kota Mabuara dengan segala keberanian yang tersisa.

Di tepi sungai yang berkilauan di bawah sinar bulan, sekelompok pejuang Fretilin bersembunyi di balik rimbunnya dedaunan. Suara gemerisik air terdengar di telinga mereka. Dari kejauhan, mereka melihat segerombolan prajurit TNI dengan perlahan namun pasti menyeberangi sungai, menuju kota Mabuara yang terletak di balik perbukitan.

Seorang pejuang Fretilin mendekatkan teropongnya ke mata. "Mereka mendekat," bisiknya pada yang lain. Wajah-wajah mereka tampak tegang, mereka tahu bahwa ini bukan sekadar gerakan biasa ini adalah pergerakan yang dapat menentukan nasib kota dan rakyat mereka.

Dengan cepat, pesan disampaikan melalui isyarat tangan di antara mereka, tanpa sepatah kata pun keluar. Di kejauhan, suara derap langkah kaki para prajurit terdengar samar. Kota Mabuara kini berada di ujung tanduk, dan pilihan ada di tangan mereka : menyerang lebih dulu atau menyusun strategi untuk menghadapi musuh yang semakin dekat.

Sudah 10 menit para prajurit TNI menyebrangi sungai yang dingin menusuk kulit. Air meresap kedalam seragam mereka yang basah oleh keringat dan lumpur. Di tengah sunyi yang mencekam, suara letupan senjata tiba-tiba memecah keheningan.

Tiba-tiba dari arah barat kelompok bersenjata Fretilin menyerang secara mendadak. Peluru-peluru nya menembus udara, menyerang tanpa peringatan.

"Awas!" teriak salah satu prajurit, tapi terlambat. Arman, yang berada di barisan depan, tersentak saat peluru menghantam lengannya, meninggalkan goresan panjang yang menyakitkan.

Sontak terjadi kontak tembak antara pasukan Unit C Pasukan Nanggala 10 dengan para pemberontak.

Di medan tempur, deru tembakan terus menghujani tanpa henti. Para perwira, dengan keberanian yang tak tergoyahkan, maju ke garis depan meski nyawa mereka terancam. Dentuman senapan dan ledakan granat memekakkan telinga, namun mereka tetap teguh.

Tembakan peluru saling berbalas di udara, suara ledakan mengguncang bumi, namun Lettu Sudaryanto terus maju menghampiri musuh. Hingga akhirnya, di tengah dentuman senjata dan jerit pertempuran, seberkas peluru menghantam tubuhnya. Sejenak dunia terasa berhenti.

Tubuhnya terhuyung, tapi tangan kirinya tetap erat menggenggam senjata. Darah perlahan mengalir membasahi seragamnya, dan ia jatuh berlutut. Meski tubuhnya mulai melemah, sorot mata Sudaryanto tak pudar. Ia tersenyum, menyadari bahwa perjuangannya tidak akan pernah sia-sia. Ia berbisik lirih, "Demi negeri ini..."

"Lettu Sudaryanto tertembak!" Teriak salah seorang prajurit.
.
.
.
.
.
Lanjut ga niiiiiiih? Vote dan komen dulu xixi, biar otakku encer buat menjabarkan sejarah ini 🙃

Jejak sang Jendral Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang