Doa

433 49 2
                                    

Titiek duduk diam di sudut ruangan, pandangannya tertuju ke luar jendela. Dadanya terasa sesak, seperti ada sesuatu yang mengganjal, perasaan gelisah terus berputar-putar didalam hatinya. Dari luar, semua tampak normal tapi didalam dirinya seolah ada kekacauan yang sulit ia jelaskan.

Jari-jarinya meraih pelan secangkir teh didepannya, namun tidak ada rasa yang bisa menenangkannya. Setiap tarikan napasnya terasa berat.

Siti Hardianti Hastuti atau biasa dikenal dengan nama Tutut, anak pertama dari Soeharto mencoba menghampiri Titiek yang sejak tadi ia perhatikan.

"Titiek, apa yang lagi kamu pikirkan" tanya Tutut sambil menepuk pundak adiknya, setelah sebelumnya duduk tepat disamping Titiek.

"Eh mba" titik sedikit kaget, kemudian tersenyum tipis. "Engga apa-apa, aku mungkin cuma sedikit kecapean"

Tutut menghela napas "matamu itu ga bisa bohong, kamu masih kepikiran perdebatan sama bapak tadi pagi?" tanya Tutut.

Titiek menoleh kemudian tersenyum "Engga mba, kalo soal itu sudah selesai, aku sudah menemui bapak siang tadi" ucap Titiek.

"Lalu kenapa wajahmu murung dan gelisah begitu?" Tutut bertanya kembali, mencoba mengorek apa yang sedang dipikirkan oleh adiknya, mengingat persalinan nya semakin dekat, ia tidak mau jika Titiek menanggung beban sendirian.

"Tadi setelah aku bertemu bapak, aku tidak sengaja menguping pembicaraan bapak dengan ajudan nya, bahwa prajurit yang bersama Prabowo akan menghadapi pertempuran besar malam ini." Titiek menjelaskan.

Tutut mengulurkan tangannya dan mengelus punggung Titiek "Titiek, Prabowo dan prajurit lain itu sudah terlatih, aku yakin dia pasti bisa melewatinya. Bahkan mereka pasti sudah siap melewati situasi terburuk sekalipun. Dia akan baik-baik saja" ucap Tutut menenangkan.

"Aku berusaha untuk berpikir positif, tapi setiap kali aku ingat bagaimana kalau situasinya berbanding terbalik, rasanya aku ga tenang" ucap Titiek.

"Titiek, kita disini tidak akan bisa melakukan apapun, kecuali berdoa untuk keselamatan mereka. Mereka pasti kuat, dan kita disini pun harus kuat. Kamu harus kuat supaya suamimu juga merasakan energi itu, percayalah, dia pasti kembali dengan selamat" ucap Tutut.

Titiek yang menyadari bahwa apa yang dikatakan oleh kakaknya itu benar, mencoba menelan perasaan-perasaan negatif yang sejak tadi dipikirkan nya. Sesuatu hal yang belum tentu terjadi. Ia mengangguk, tanda setuju apa yang dikatakan Tutut.

"Terimakasih ya mba untuk dukungannya"

Kedua saudara tersebut kemudian saling melempar senyum. Titiek kemudian meminta ijin untuk beranjak dari tempat duduknya menuju kamar, guna bersiap-siap melaksanakan shalat Maghrib.
Tutut yang masih berada di tempatnya memandangi punggung Titiek yang kini mulai menjauh, ada ketidakrelaan melihat adiknya yang berbulan-bulan harus menelan pahitnya kehidupan, namun hidup ini pilihan bukan? Dan setiap pilihan akan selalu ada resiko yang harus kita menangkan.
.
.
.
.
.
Teman-teman jangan lupa untuk selalu vote dan komen yaaa✨

Jejak sang Jendral Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang