Seandainya

552 54 2
                                        

Dalam malam yang penuh kecemasan, suasana di kediaman Soeharto berubah menjadi riuh. Di tengah keheningan malam, suara langkah tergesa-gesa para pengawal terdengar di sepanjang lorong. Titiek, tampak duduk di kursi dengan wajah yang menahan rasa sakit. Tangannya mencengkeram perutnya yang membuncit, tanda bahwa waktu kelahiran semakin dekat.

"Pak, kontraksinya semakin sering!" ujar Tien, dengan nada panik namun tetap berusaha tenang di hadapan suaminya.

Soeharto, dengan ketenangan khasnya, segera memberi arahan. "Siapkan mobil. Kita bawa Titiek ke rumah sakit sekarang," ujarnya tegas.

Dalam waktu singkat, sebuah mobil kepresidenan meluncur melewati gerbang Cendana, dikawal oleh iring-iringan kendaraan dinas. Mobil kepresidenan melaju dengan kecepatan penuh melewati jalanan Jakarta. Di dalamnya, suasana begitu hening, hanya diselingi oleh desahan napas tertahan dari Titiek yang merasakan kontraksi semakin kuat. Tien, dengan penuh kasih, menggenggam tangan putrinya, memberikan dukungan di tengah rasa sakit yang semakin menjadi-jadi.

"Ibu, Bapak..." suara Titiek terdengar lirih, "kalau aku tidak berhasil, tolong titip salam untuk Prabowo. Katakan, aku tidak pernah berhenti mencintainya, dan aku ingin dia tahu aku memahaminya, meskipun dia jauh...." Titiek terdiam lemas menahan kontraksinya setelah mengatakan itu.

"Jangan bicara begitu nak, semua akan baik-baik saja," ucap Tien, meskipun hatinya berdegup kencang.

Sementara itu, Soeharto yang duduk di samping mereka, pandangannya sesekali melirik ke arah Titiek, kemudian kembali ke kaca jendela, merenung dalam diam.

"Ibu," ujar Soeharto tiba-tiba, suaranya rendah namun penuh penyesalan. "Harusnya aku mendengarkan Soemitro waktu itu."

Tien menoleh, matanya menatap suaminya penuh tanya. "Maksud Bapak?"

"Soemitro sudah memberikan saran. Dia bilang, lebih baik Prabowo dipulangkan sementara dari medan perang," Soeharto melanjutkan, nadanya berat. "Aku terlalu keras kepala. Kupikir tugas negara adalah segalanya. Tapi sekarang... mungkin kalau aku mendengarnya, semua ini bisa lebih mudah bagi Titiek."

Tien terdiam. Ucapan suaminya menggantung di udara, membebani perjalanan itu dengan penyesalan yang tak terucapkan sebelumnya. Hanya suara mesin mobil yang menemani, sementara pikiran mereka masing-masing terseret pada pengandaian yang tak lagi bisa diubah.

"Doakan saja, Pak," ujar Tien akhirnya, suaranya bergetar tetapi tegar. "Semoga semuanya selamat."

Soeharto mengangguk, meski tak mampu menyembunyikan kegundahan di hatinya. Di tengah malam yang penuh ketidakpastian itu, ia menyadari bahwa kekuasaan dan strategi tak selalu sebanding dengan hati seorang ayah.
.
.
Di tengah dinginnya malam, Tim Harimau yang dipimpin oleh Sersan Wiranata mulai bergerak senyap. Komando dari Prabowo jelas : mereka harus menuju sisi barat, mengambil jalur memutar yang lebih panjang namun minim penjagaan. Waktu sangat berharga, dan setiap langkah mereka dihitung dengan ketelitian luar biasa.

"Sisi barat relatif kosong, tapi jangan lengah," bisik Wiranata, suaranya hampir tenggelam dalam suara desiran angin. Matanya tajam, memperhatikan setiap sudut medan yang gelap. "Kita punya satu misi, hancurkan suplai mereka, buat mereka lumpuh sebelum sempat memanggil bala bantuan."

Anggota tim, yang terdiri dari delapan prajurit terlatih, mengangguk pelan. Wajah mereka penuh keseriusan, senjata tergenggam erat. Gerakan mereka seperti bayangan, hampir tak terdengar, menyusuri jalan setapak berbatu menuju titik sasaran.

Setelah beberapa jam menyusuri jalur hutan, mereka tiba di lokasi yang ditandai. Gudang suplai musuh tampak berdiri kokoh di tengah-tengah perkemahan kecil. Cahaya lampu minyak dari beberapa tenda musuh membuat siluet beberapa penjaga terlihat, tapi jelas pertahanan di sisi ini jauh lebih lemah dibandingkan garis depan.

Wiranata memberi isyarat dengan tangan. Dua prajurit bergerak mendekat untuk mengamati situasi. Detik-detik terasa lambat, dan ketegangan menggantung di udara.

Ketika semua siap, perintah itu datang seperti bisikan maut. "Hantam sekarang."

Ledakan pertama menghancurkan gudang suplai, diikuti oleh tembakan senyap yang menghabisi para penjaga. Pasukan Fretilin yang tersisa berlarian panik, tak siap menghadapi serangan mendadak ini. Dalam waktu singkat, suplai amunisi dan logistik mereka terbakar habis, asap hitam mengepul ke langit malam.

"Kita berhasil," ujar salah satu prajurit dengan suara tertahan kegembiraan, namun Wiranata tetap waspada. "Belum selesai. Kita harus kembali sebelum mereka sadar apa yang terjadi."

Tim Harimau bergerak cepat, menghilang ke kegelapan seperti bayangan. Serangan itu sukses besar tanpa suplai dan komunikasi, Fretilin kehilangan kemampuan untuk memanggil bala bantuan. Keberanian dan strategi yang matang membuat misi ini menjadi salah satu langkah penting dalam perang yang penuh risiko.

Jejak sang JendralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang