Kelahiran

837 73 2
                                        

Semua kepala menoleh, dan raut wajah diantara mereka berubah terkejut.

"Prabowo?" Dora setengah berteriak, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Prabowo berdiri di ambang pintu, masih mengenakan seragam militernya yang berdebu, menunjukkan perjalanan panjang yang baru saja ia tempuh. "Saya di sini pi, mi" ucapnya, nadanya penuh tekad. "Saya tidak akan membiarkan Titiek menghadapi ini sendirian."

Sementara Soeharto berdiri tenang, ada sedikit kelegaan di hatinya. Tatapannya mengisyaratkan bahwa ini bukan sesuatu yang mengejutkan baginya.

Dora menoleh, menyadari keanehan ini. "Pak Harto... apakah ini perintah Bapak?" tanyanya, penuh harap dan rasa penasaran.

Soeharto mengangguk perlahan. "Ya," jawabnya singkat namun penuh makna. "Saya meminta ajudan untuk menyampaikan langsung ke Panglima TNI agar Prabowo dipulangkan. Ini bukan hanya tentang tugas negara. Hari ini, dia punya tugas lebih penting sebagai suami."

Prabowo menatap mertuanya dengan campuran rasa hormat dan syukur. "Terima kasih, Pak."

Soeharto mendekati Prabowo, menepuk bahunya dengan lembut namun tegas. "Jangan sia-siakan kesempatan ini. Titiek membutuhkanmu di sana. Masuklah."

Prabowo melangkah maju, mendekati dokter sambil melepaskan topi militernya. Tien meraih lengannya sejenak, memberi sentuhan penuh kasih. "Kuatkan dirimu, Nak. Titiek membutuhkamu sekarang."

Prabowo mengangguk, tanpa membuang waktu, Prabowo melangkah masuk ke kamar bersalin, meninggalkan semua orang di ruang tunggu dengan perasaan campur aduk, kekaguman, kelegaan, dan rasa hormat yang semakin dalam terhadap keputusan seorang Soeharto yang jarang menunjukkan sisi personalnya.

Di dalam kamar, Titiek yang sudah terengah menoleh dengan mata penuh air ketika melihat suaminya masuk. "Kamu... kamu di sini mas?" bisiknya.

Prabowo meraih tangannya dengan lembut. Wajahnya tegas, namun matanya lembut memandang Titiek, penuh cinta dan rasa bersalah karena tak bisa selalu ada untuknya.
"Aku di sini, Titiek. Aku tidak akan ke mana-mana. Kita hadapi ini bersama."

Seolah kehadirannya membawa kekuatan baru, Titiek merasakan nyeri yang tadinya terasa tak tertahankan kini menjadi lebih ringan. Ia tahu, mereka telah mencapai titik ujung dari segala perjuangan mereka saat ini, suaminya ada di sampingnya.

Sore itu, di ruang bersalin yang dipenuhi cahaya remang dan suara monitor detak jantung, Titiek terbaring dengan keringat mengalir deras di wajahnya. Rasa sakit yang menjalar dari perut ke seluruh tubuhnya membuatnya hampir menyerah, tetapi tangan hangat yang menggenggam jemarinya menjadi penguat yang tak tergantikan.

Prabowo duduk di sampingnya, tangannya menyeka keringat di dahi Titiek, sementara ia terus mendampingi setiap tarikan dan hembusan nafas istrinya yang semakin cepat. Jeritan Titiek sesekali memenuhi ruangan, namun ia tak pernah melepas genggaman tangan suaminya. Dalam rasa sakit yang tak terlukiskan, Titiek merasa ada kekuatan baru, kehadiran Prabowo membuatnya merasa ia tak lagi sendiri.

Saat akhirnya tangisan pertama sang bayi pecah di udara, suasana hening seketika berubah menjadi haru. Air mata jatuh dari kedua pasangan itu, membasahi wajah mereka yang dipenuhi kebahagiaan. Prabowo, yang biasanya tangguh dan tak gentar, kini tampak rapuh saat ia menggendong bayi laki-laki mereka untuk pertama kalinya.

"Terima kasih, sayang." ucap Prabowo, menunduk mencium kening istrinya yang kini tersenyum lemah namun bahagia. Dalam sekejap, semua rasa lelah, sakit, dan perjuangan berubah menjadi kebahagiaan yang tak tergantikan. Mereka tahu, saat itu adalah awal dari babak baru dalam kehidupan mereka, sebuah keluarga yang utuh.
.
.
.
.
.
Nihh yang kemarin pada kebelet, akhirnya baby launching jugaaa 😍

Jejak sang JendralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang