Ketulusan

479 53 5
                                        

"Kenapa bisa macet di saat genting begini? Ini bukan permainan, satu kesalahan kecil bisa menghancurkan segalanya!" Komandan Fretilin meluapkan amarahnya kepada sniper, matanya menyala penuh kemarahan, frustrasi mendominasi wajahnya.

Maaf, Komandan. Sepertinya ada yang salah dengan pelatuknya... sebentar, saya cek dulu." Sniper itu berpura-pura memeriksa senjatanya, mengulur-ulur waktu dengan sengaja. "Ah, masih belum bisa. Mungkin butuh waktu sedikit lagi," katanya dengan nada tenang, tapi penuh maksud tersembunyi. Sementara itu, Prabowo dan Sudaryanto perlahan-lahan berhasil meninggalkan tempat tanpa disadari oleh sang komandan, yang mulai kehilangan kesabaran dan fokus pada senjata yang seharusnya tak bermasalah itu.

Prabowo berjuang keras menapaki medan yang licin, setiap langkah terasa semakin berat. Di punggungnya, tubuh Lettu Sudaryanto yang terluka membuat beban semakin tak tertahankan. Nafasnya mulai memburu, keringat bercucuran, namun dia tahu tak ada pilihan lain. Beberapa kali Prabowo hampir terjatuh, tapi tekadnya tak surut.

Prabowo menggigit bibirnya, menahan rasa lelah yang menghantam tubuhnya saat ia berusaha melewati celah sempit di antara bukit. Di punggungnya, tubuh Lettu Sudaryanto yang terluka tergantung berat, napasnya terengah-engah menahan rasa sakit. Prabowo tahu dia harus segera keluar dari medan ini, tapi jalannya semakin menyesakkan, membuat setiap langkah terasa seperti ujian.

"Kita harus segera keluar dari sini, komandan," gumam Prabowo, meski ia tak yakin Lettu Sudaryanto mampu mendengarnya. Angin dingin pegunungan menerpa wajahnya, memaksanya untuk terus maju meski tubuhnya terasa semakin lelah. Setiap langkah berat, tapi pikirannya terfokus hanya pada satu tujuan menyelamatkan sang komandan, bagaimanapun caranya.

Saat tubuhnya hampir menyerah pada kelelahan, beberapa prajurit datang membantu. Dengan tenaga yang tersisa, mereka bersama-sama mengangkat Sudaryanto dan perlahan membawa perwira itu ke tempat aman. Hanya dengan kerjasama, evakuasi yang terasa mustahil akhirnya berhasil dilakukan.

Komandan Fretilin memandangi tempat dimana Sudaryanto sempat tergeletak tak berdaya, rahangnya mengatup keras, matanya menyipit tajam ketika menyadari Prabowo dan Sudaryanto sudah tak ada. Hanya beberapa jejak samar yang tersisa di tanah basah, pertanda mereka telah pergi. Kesempatan emas itu hilang. Dadanya bergemuruh, kemarahan mulai membakar dalam dirinya.

Dia berbalik dengan tatapan penuh amarah ke arah sniper yang masih berjongkok di balik teropong. "Bagaimana bisa kau biarkan mereka lolos?! Mereka seharusnya sudah tak bernapas sekarang!" bentaknya dengan suara keras, nyaris menggema di antara pepohonan. "Ini adalah kesalahan fatal! Aku mempercayakan tembakan itu padamu, dan kau gagal!" Tangannya terkepal, hampir menghantam tanah.

Sniper itu menunduk di hadapan komandan Fretilin, pandangannya menunduk dalam rasa bersalah. "Maaf, Komandan," ucapnya pelan. "Saya seharusnya lebih teliti mengecek senjata. Saya tidak menyadari kalau senapan saya macet." Dia menarik napas panjang, lalu menatap komandan dengan mata yang dipenuhi beban.

Tapi dalam hatinya, sniper tersebut tahu alasan sebenarnya. Bukan karena senjata yang macet, tapi karena hatinya sendiri yang tidak tega. Di saat kritis, dia ragu menekan pelatuk untuk menembak Prabowo, seorang pria yang dia tahu hanya manusia biasa di balik seragamnya.

Komandan hanya menatapnya tajam, tidak mengatakan apa-apa. Kesunyian di antara mereka menggantung, seperti sebuah beban yang tak terucapkan.

Jejak sang JendralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang