Teriakan tersebut menggema ditelinga Prabowo dan para prajurit lain, menusuk jauh lebih tajam dari peluru. Hati mereka seperti ditikam oleh kenyataan pahit. Di tengah hiruk-pikuk pertempuran, suara tembakan yang menggema seakan memecah keheningan yang menyesakkan dada. Mata mereka terpaku pada tubuh Lettu Sudaryanto yang jatuh tersungkur, darah segar merembes dari luka di dadanya. Waktu terasa melambat, seolah dunia berhenti berputar saat pemimpin mereka tumbang. Mereka merasakan satu hal yang sama: amarah dan kesedihan yang meluap, menyatu dalam tekad untuk tidak menyerah.
Para prajurit menggenggam senjata mereka lebih erat, rahang mereka mengeras, dan mata mereka menyala penuh amarah. Pasukan Fretilin telah berhasil menembak pemimpin yang mereka hormati. Detik itu, hening tak wajar menyelimuti sekeliling, sebelum akhirnya dipecahkan oleh raungan kemarahan yang meledak dari dada para prajurit. Tangan mereka gemetar, bukan karena takut, tapi karena bara dendam yang berkobar-kobar, mendesak mereka untuk membalas setiap peluru yang telah dilepaskan musuh. Tidak ada lagi keraguan, hanya tekad untuk menuntut keadilan bagi komandannya.
"Serang! Jangan biarkan satu pun dari mereka lolos! Komandan kita telah tumbang, balas mereka dengan setiap peluru yang kita punya! Demi kehormatan, demi tanah air, kita akan habisi Fretilin sampai tak tersisa!" ucap Pratu Suparlan yang saat ini jiwanya dipenuhi dengan amarah dan dendam terhadap musuh.
Pratu Suparlan, dengan sigap dan penuh keberanian, bergerak maju tanpa menunggu aba-aba. Dengan kecepatan dan ketepatan, ia menyerang pasukan Fretilin secara tiba-tiba, memanfaatkan momen kejutan. Dalam hitungan detik, ia berhasil menumbangkan beberapa musuh.
"Tenang! Kita tidak bisa bertarung dengan amarah. Kendalikan emosi kalian. Perang bukan soal balas dendam, tapi tentang strategi dan kehormatan. Jangan biarkan emosi menguasai kalian. Kita berperang untuk tujuan yang lebih besar, untuk kedamaian dan keadilan. Ingat itu sebelum menarik pelatuk." ucap Prabowo tegas.
Melihat beberapa anggotanya tertembak, pasukan Fretilin bergerak dengan cepat, seperti badai yang siap meluluhlantakkan apa saja yang menghalang. Dengan mata penuh dendam, mereka menyerbu tanpa ampun. Tembakan demi tembakan dilepaskan, menggempur garis pertahanan lawan yang tersisa. Suara senjata menggema, bercampur dengan teriakan kepanikan dan debu medan perang.
"Habisi mereka! Jangan beri kesempatan untuk bangkit!" teriak seorang komandan Fretilin, suaranya tenggelam di antara gemuruh ledakan.
Mereka tahu bahwa setelah Sudaryanto tumbang, moral mereka goyah, dan Fretilin memanfaatkan momen itu untuk menyerang tanpa ragu. Mereka terus meluncurkan peluru-pelurunya.
Di saat genting itu, sosok Prabowo dengan mata penuh keteguhan dan tekad yang membara. Ketika para perwira senior satu per satu jatuh, prajurit-prajurit yang tersisa memandang ke arahnya. Tak ada waktu untuk ragu, mereka membutuhkan kepemimpinan yang kuat. Dengan langkah tegas, ia mengambil kendali.
Prabowo kemudian mengangkat tangannya tinggi, memberi isyarat tegas kepada pasukannya untuk mundur. Sorot matanya penuh pertimbangan, menilai dengan cepat situasi yang semakin genting. Pasukan Fretilin yang berjumlah jauh lebih banyak terus merangsek maju, sementara anak buahnya mulai kelelahan dan terluka. Meskipun hati kecilnya memberontak untuk terus bertahan, akal sehatnya berkata lain.
"Kita mundur," perintahnya, suaranya berat namun tegas. "Aku tak mau lebih banyak prajurit terluka."
Para prajurit tampak ragu sesaat, tapi tatapan Prabowo meyakinkan mereka bahwa ini bukan soal kekalahan, melainkan strategi. Mereka tahu, perintah itu lahir dari rasa tanggung jawab seorang pemimpin yang tidak ingin kehilangan lebih banyak nyawa di tengah situasi yang tidak seimbang.
.
.
.
.
.
Minimal vote 20 untuk chapter ini, aku lanjut yaaa 😁
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak sang Jendral
Hayran Kurgu"Saya pernah mengalami hujan peluru demi negara yang saya cintai" - Prabowo Subianto Apa jadinya jika kecintaannya terhadap negara justru membuatnya kehilangan sebuah keluarga?