Hampa

293 44 0
                                    

~ Enam bulan kemudian ~

Hari-hari terasa begitu lambat setelah kepergian Prabowo ke medan tempur.
Tak terhitung berapa ratus malam Titiek menghabiskan waktunya sendirian, dihantui perasaan penuh khawatir, hatinya tidak pernah merasa nyaman, hingga bulir-bulir air mata tidak pernah absen membasahi bantal dan guling di kamarnya yang indah, namun baginya terasa begitu hampa.

"Mas, apa yang sedang kamu lakukan? Apa yang terjadi diluar sana, apa kamu baik-baik saja?" ucap Titiek sambil mengelus cincin pernikahannya.

Setelah lelah dengan tangisannya, Titiek berusaha memejamkan matanya, namun semakin ia berusaha, pikirannya justru melayang lebih jauh memikirkan segala kemungkinan yang bisa saja terjadi pada suaminya.
Ia berusaha memangkas pikiran buruknya, namun lagi-lagi gagal.
Titiek kemudian beranjak ke kamar mandi untuk mengambil wudhu dan melaksanakan shalat dua rakaat, kemudian larut dalam kekhusuan.

Tidak ada yang bisa ia lakukan selain pasrah dan memanjatkan doa kepada Allah SWT.
"Ya Allah, Engkau baru saja mempersatukanku dalam mahligai pernikahan. Tapi mengapa harus secepat ini aku merasakan kesakitan. Mengapa rumah tanggaku yang harus dikorbankan untuk bangsa? Mengapa kebahagiaanku yang harus digadaikan untuk negara?" Ia merintih dalam doanya, menghamburkan segala perasaannya pada Sang Pencipta.

Sebenarnya Titiek tidak bermaksud menyalahkan Tuhannya, hanya saja ia merasa tidak punya tempat untuk menyampaikan kesedihannya.
Ayahnya, Soeharto tentu lagi-lagi hanya akan mengatakan bahwa ini resiko menjadi istri seorang tentara.

Karena sebelumnya Titiek pernah menemui ayahnya, menyampaikan perasaan rindu pada suaminya, namun Soeharto hanya mengatakan 'sabar nduk, sabar. Ini resiko, ini pilihan mu'
Ia kemudian berlari ke kamarnya dengan perasaan yang begitu berkecamuk, ingin rasanya berteriak disertai pertanyaan 'tidak bisakah ayahnya mengganti suaminya itu dengan prajurit lain? Padahal ayahnya memiliki wewenang atas itu sebagai seorang presiden'
Mengingat kejadian hari itu, Titiek tidak lagi mendesak apapun pada ayahnya, ia berusaha menerima dengan ikhlas.

Titiek kemudian merebahkan tubuhnya diatas sajadah, sambil mengelus perutnya yang saat ini sedang mengandung, hingga akhirnya waktu yang membawanya terpejam.

---------

Sementara ditempat lain, Prabowo dan para prajurit lain bergulat dengan dinginnya cuaca malam, perihnya perut karena lapar, terpaksa tidur diatas rerumputan bahkan tanah lumpur alam terbuka.

Prabowo terbangun dari tidurnya, mengangkat tangan kanan nya, memandangi cincin yang melingkar di jari manisnya.

"Ternyata benar, tempat paling menyenangkan ketika tujuanmu pulang, bukan lagi rumah berupa ruang, melainkan seseorang. Titiek, aku merindukanmu dan calon anak kita" ucap Prabowo dengan seulas senyum, kemudian mencium cincin pernikahan nya.

Ia kemudian berdiri memperhatikan sekitarnya, memperhatikan para prajurit lain. Ia kemudian berfikir bahwa mereka pun merasakan apa yang sedang dirasakannya, kesedihan dan kerinduan terhadap keluarga yang harus dikesampingkan demi menjalankan tugas negara.

Seorang komandan bernama Lettu Sudaryanto, yang bertanggung jawab di unit C nanggala 10 dalam operasi Seroja di Timor timur, menghampiri Prabowo yang saat itu sedang berdiri menatap jauh alam terbuka yang sedang ditempatinya. Ia menepuk pundak Prabowo.
Prabowo yang kaget dengan kedatangan komandan nya, langsung memberikan hormat.
Lettu Sudaryanto kemudian menurunkan tangan Prabowo yang sedang memberikan hormat untuknya.

"Kamu pasti sedang memikirkan keluargamu, 'kan?" tebak Lettu Sudaryanto.
Prabowo pun mengangguk dengan senyuman tipis.

"Kamu tentu tahu bahwa segala sesuatu akan punya resiko, ketika kamu memilih untuk berkarir sebagai seorang tentara, tentu seharusnya kamu memikirkan jauh kedepan tentang bagaimana nasib keluargamu." ucap Lettu

"Saya tidak pernah menyesal menjadi seorang tentara komandan, sebab itu pilihan saya, karena kecintaan saya terhadap Indonesia. Saya ingin menjaga negeri ini dengan segenap jiwa dan raga." tukas Prabowo

"Saya melihat itu. Tapi ada satu hal yang bisa kamu lakukan untuk membuktikan kecintaanmu terhadap keluarga dan negara" ucap Lettu
"Siap, apa komandan?" tanya Prabowo penasaran. Ia terus memandangi wajah komandannya yang saat ini beralih menatap jauh kedepan.

"Kamu harus fokus dengan tugasmu saat ini, kita sedang menjalankan agenda yang tidak main-main. Jika kamu terus membawa kerinduanmu ditengah pekerjaan, saya khawatir kamu tidak totalitas dan itu akan mencelakai dirimu sendiri. Akibatnya, kamu bukan hanya tidak bisa mengabdi untuk negara, tapi secara tidak langsung kamu mematahkan hati keluargamu yang sedang menunggumu pulang dengan selamat. Kamu harus baik-baik saja, Prabowo. Istri dan anakmu membutuhkanmu" Lettu Sudaryanto menjelaskan, ia kemudian membalikkan badannya hingga berhadapan dengan Prabowo.
"Saya percaya kamu adalah prajurit yang tangguh, istirahatlah" ucap Lettu sambil tersenyum, kemudian ia melangkahkan kakinya menjauh dari Prabowo.

Prabowo kemudian mematung dan meresapi kata-kata dari komandannya. Tak lama kemudian ia kembali ke tempat dimana seharusnya ia istirahat, membaringkan tubuhnya untuk memberikan energi yang lebih banyak esok hari.
.
.
.
.
.
Jangan lupa untuk vote dan komen yaaa biar admin semangat nulisnya, hehe ✨

Jejak sang Jendral Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang