Kuat

590 55 2
                                        

Yusuf terdiam sejenak, menggenggam gagang telepon lebih erat. Sorot matanya tajam, namun ada kelegaan yang samar terpancar. "Prabowo," ujarnya, suaranya rendah namun penuh wibawa, "kamu dan prajurit telah melakukan pekerjaan yang besar. Tapi ingat, perjuangan tidak berhenti di sini."

"Siap, Komandan," jawab Prabowo tegas.

Yusuf berdiri, punggungnya yang tegar seolah menyerap seluruh beban tanggung jawab. "Pastikan semua pasukan menjaga disiplin. Kota ini bukan hanya soal wilayah, kita merebut kepercayaan orang-orang di dalamnya. Jangan biarkan kemenangan ini ternoda oleh kesombongan atau kesalahan kecil."

"Siap laksanakan!" Prabowo menjawab dengan keyakinan penuh.

Diseberang sana, inf Yusuf Yosfiah berbicara dengan serius namun penuh dengan nada bijak seorang pemimpin yang telah lama mengarungi perang dan damai.

"Mengerti, Komandan," jawab Prabowo.
Tak lama kemudian, telpon tersebut ditutup.

Prabowo menarik napas panjang, membiarkan kata-kata Inf Yusuf berkecamuk dalam pikirannya. Setelah telepon ditutup, ia tetap terdiam, memandangi telepon militer nya yang kini sunyi, matanya kini berbalik memandangi pasukannya, beberapa ada yang sedang dalam kesibukan mengobati luka akibat pertempuran semalam.

"Saudara-saudaraku" ucap Prabowo membuat para prajurit memperhatikannya spontan.
"Hari ini adalah upacara penghormatan untuk komandan kita, Lettu sudaryanto" lanjut Prabowo tegas kepada pasukannya.
.
.
Di dalam ruangan yang hangat dan tenang, aroma bunga segar menyelimuti suasana. Suara detak jam di sudut ruangan membuat waktu seolah melambat, sementara di tengah-tengahnya, Titiek duduk dengan wajah penuh ketegangan. Sesekali, gelombang kontraksi membuatnya terdiam sejenak, merasakan rasa sakit yang tak terelakkan.

Tien memperhatikan dengan penuh kasih sayang. Ia berusaha menciptakan suasana yang lebih ceria. "Titiek, ingat saat kita menyiapkan semua perlengkapan untuk bayi ini? Semua baju lucu yang kita pilih bersama? Dia pasti akan menjadi anak yang luar biasa," katanya dengan senyuman, berusaha mengalihkan perhatian Titiek dari rasa sakit yang dirasakannya. Titiek hanya mengangguk dan tersenyum.

Tok...tok...tokk...

"Masuk," ucap Soeharto, suaranya tegas namun penuh harap.

Seorang ajudan Soeharto bernama Safrie kemudian masuk.
"Izin melapor pak" ucap Safrie

Soeharto kemudian mengangkat tangan nya sebagai tanda agar Safrie menunda ucapan nya terlebih dahulu. Ia kemudian menghampiri Safrie.
"Diluar saja Saf, saya khawatir akan menganggu putri saya" bisik Soeharto.
"Siap pak" jawab Safrie. Mereka kemudian berjalan keluar ruangan yang di depan nya di penuhi oleh anggota Paspampres.

"Bagaimana?" Tanya Soeharto kepada ajudan nya.
"Perintah yang Bapak berikan telah selesai dilaksanakan dengan baik," ujar Safrie, memberikan map berisi dokumen yang telah ditandatangani.

Soeharto meraih map itu dengan tangan yang mantap, membukanya dengan penuh rasa ingin tahu. Ia kemudian mengangguk setelah membaca laporan didalam map tersebut.

"Bagus Saf, lanjutkan dan pastikan semuanya terkendali, komunikasikan juga dengan pihak-pihak terkait" ucap Soeharto

"Siap, laksanakan pak!" Tegas Safrie

Soeharto kemudian berjalan kembali ke dalam ruangan. Ia menghampiri Titiek dan meraih tangan putrinya. "Nduk maafkan bapak jika sampai kamu melahirkan belum bisa memenuhi keinginanmu untuk bertemu suamimu, tapi bapak mohon nduk berjuanglah lebih hebat. Bapak percaya kamu kuat." Ucap Soeharto lembut namun tegas.
.
.
.
.
.
Jangan lupa vote dan komen dulu 😋

Jejak sang JendralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang