Permintaan maaf

469 47 3
                                    

Setelah berbincang cukup lama dan memberikan nasihat, Ibu Tien memandang Titiek dengan lembut, namun penuh wibawa. "Nak, ingatlah, dalam hidup ini kamu akan menghadapi banyak cobaan, tetapi selama kamu berpegang teguh pada nilai-nilai yang diajarkan dan selalu mendahulukan keluarga, kamu akan bisa mengatasi semuanya. Kuatkan hatimu, tetap sabar, dan selalu berserah kepada Tuhan. Ibu selalu ada untukmu, dan Ibu percaya kamu bisa melewati semua ini dengan baik."

Sambil tersenyum tipis, Ibu Tien merapikan rambut Titiek, kemudian perlahan-lahan keluar dari kamar, meninggalkan kesan hangat dan kekuatan pada putrinya.

Titiek masih duduk di tempat yang sama, hatinya dipenuhi kegelisahan. Bayangan perdebatan terakhir dengan Soeharto terngiang di pikirannya. Saat itu, emosinya membara, tak mampu menerima kenyataan. Baginya, melahirkan tanpa ditemani seorang suami terasa begitu berat, seolah merenggut rasa aman yang tersisa. Namun kini, Titiek mulai memahami bahwa ada hal-hal yang memang tak bisa ia paksakan, tanggung jawab negara yang tak terelakkan.

Titiek kemudian keluar dari kamarnya dengan langkah pelan namun mantap. Dalam hatinya, ada campuran rasa takut dan harapan. Titiek mengedarkan pandangannya di ruang tamu, namun tidak ia temukan ayahnya. Titiek sudah paham betul harus menemui ayahnya dimana. Tentu, ruang kerjanya.

Soeharto memang sosok pemimpin yang begitu mendalam kepeduliannya terhadap negara. Baginya, Indonesia bukan sekadar tanah air, tetapi amanah besar yang harus dijaga dengan sepenuh hati. Setiap detik yang ia miliki dihabiskan untuk berpikir tentang bangsa, dari pembangunan ekonomi hingga kesejahteraan rakyatnya. Bekerja adalah satu-satunya cara ia mengekspresikan rasa cinta dan tanggung jawabnya. Bahkan, dalam diamnya, ia selalu memikirkan bagaimana negara ini bisa maju, stabil, dan mandiri. Bagi Soeharto, kebahagiaannya terletak pada kemajuan Indonesia, hingga seringkali ia mengorbankan waktu dan kebutuhan pribadinya demi memastikan negaranya tetap kuat.

Ruang kerja Soeharto terbuka, namun sebagai salah satu etika, Titiek tetap mengetuk pintunya. "Pak..." suaranya lirih, nyaris tenggelam dalam keheningan. Soeharto mengangkat pandangannya, menatapnya dengan wajah penuh keteguhan.

Titiek kemudian mencoba mendekati Soeharto yang sedang duduk di meja kerjanya.

"Pak, aku salah..." Titiek menelan ludah, berusaha menahan air mata yang hampir jatuh. "Aku salah karena aku tidak mengerti bahwa Prabowo pergi ke medan tempur memang sebuah kewajiban, bukan pilihan. Aku terlalu egois. Maafkan aku, Pak."

Soeharto terdiam sejenak, menghela napas panjang. Ia berdiri menghampiri putrinya, sambil tersenyum Soeharto berkata "Bapak paham, nduk," ujarnya lembut. "Ini tidak mudah untuk kita semua. Tapi percayalah, dia melakukan apa yang harus dilakukan. Bapak juga minta maaf ya nduk"

Kata-kata Soeharto menenangkan, meski tak menghapus sepenuhnya kegelisahan di hati Titiek. Namun ia tahu, dengan permintaan maaf ini, mereka bisa berjalan bersama lagi, lebih kuat, lebih memahami satu sama lain.

"Pak, ajarkan aku untuk jauh lebih kuat" ucap Titiek.

Soeharto melihat Titiek berdiri di depannya, dengan mata yang menyiratkan kesedihan mendalam. Tanpa sepatah kata pun, ia menarik putrinya ke dalam pelukannya. Dalam pelukan itu, ia merasakan beban yang Titiek tanggung, kehamilannya yang harus dijalani tanpa pendamping suami. Suara Soeharto terdengar berat namun lembut, "Nduk, kamu tidak sendiri. Apa pun yang terjadi, kamu selalu punya keluarga. Kami akan selalu ada di sampingmu, mendukungmu, dan memberikanmu kekuatan."

Ia mengusap punggung Titiek dengan lembut, berusaha menyampaikan bahwa walaupun situasi ini berat, ia tak perlu menghadapi semuanya sendirian. Pelukan itu bukan sekadar wujud kasih sayang, tapi janji seorang ayah untuk selalu melindungi putrinya, apa pun yang terjadi.
.
.
.
.
.
Temen-temen jangan lupa vote dan komen yaaa, biar aku semangat bikin chapter baru hehe. Terimakasih ✨

Jejak sang Jendral Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang