bab 3

17 2 0
                                    

Setiap akhir pekan, Yerin dan Jungkook berkumpul di ruang belajar yang luas dengan jendela besar menghadap taman. Meskipun Yerin tidak bersekolah seperti anak-anak seusianya, Jungkook mengambil tanggung jawab untuk mengajarinya materi-materi pelajaran yang harus ia ketahui di usianya yang kini menginjak 15 tahun. Jungkook sendiri sudah berusia 16 tahun dan memiliki pengetahuan yang cukup untuk menjadi guru bagi Yerin.

Di meja belajar yang tertata rapi, Yerin duduk sambil menatap Jungkook yang dengan serius menjelaskan pelajaran matematika hari itu. Rasa takut yang dulu membayang-bayangi dirinya setiap kali berada di dekat Jungkook perlahan berubah menjadi rasa kagum, terutama ketika ia menyadari bahwa Jungkook begitu teliti dan sabar dalam mengajarinya.

"Ini, lihat rumusnya di sini," kata Jungkook sambil menunjukkan sebuah contoh soal di bukunya. “Kalau mau menghitung persamaan ini, kamu harus mengerti dasar-dasar persamaan linier dulu.”

Yerin mengangguk, matanya fokus pada rumus yang ditunjukkan oleh Jungkook. Dengan cepat, ia memahami konsep yang dijelaskan. Yerin menunduk dan mengerjakan soal-soal yang diberikan Jungkook dengan teliti, sesekali memandang ke arahnya untuk memastikan ia melakukan semua dengan benar.

“Seperti ini?” tanya Yerin sambil menunjuk jawabannya.

Jungkook menatap lembar jawaban itu sesaat, kemudian anggukan kecil mengiringi senyum tipis di bibirnya. “Ya, benar. Kau mengerti dengan cepat, lebih cepat daripada yang kupikirkan.”

Mendengar pujian tersirat dari Jungkook, Yerin merasa hangat. Perasaan bangga dan senang itu membuncah, meskipun Jungkook tidak mengatakannya secara terang-terangan. Bagi Yerin, kebersamaan mereka di ruang belajar seperti ini memberinya sedikit rasa nyaman. Dalam momen ini, mereka tampak seperti kakak adik yang akur. Yerin berharap Jungkook bisa terus bersikap seperti ini, tenang dan hangat. Meskipun tidak pernah diungkapkan, Yerin tahu Jungkook mungkin bangga padanya.

Saat mereka sedang fokus pada pelajaran, terdengar ketukan pelan di pintu. Seorang pelayan masuk dengan sopan dan membungkuk sedikit sebelum menyampaikan berita yang mengejutkan.

"Maaf mengganggu, Tuan Muda, Nona Yerin," katanya dengan suara tenang. "Orang tua kalian baru saja tiba dari New York. Mereka mengundang kalian untuk makan siang bersama di ruang makan."

Yerin menoleh dengan mata berbinar. Orang tua angkatnya jarang pulang karena sering sibuk dengan urusan bisnis di luar negeri. Tanpa menunggu lama, Yerin segera berdiri dan menatap Jungkook dengan antusias.

“Ayo, Kak. Kita makan siang bersama,” katanya dengan penuh semangat, berharap kakaknya juga merasakan kebahagiaan yang ia rasakan.

Jungkook menghela napas pendek, ekspresi wajahnya yang dingin tidak berubah. Namun, tanpa banyak bicara, ia berdiri dan mengikuti Yerin keluar dari ruang belajar.

Sesampainya di ruang makan, Yerin melihat Ayah dan Ibu mereka yang sudah menunggu di meja makan besar. Kedua orang itu tersenyum hangat ketika melihat Yerin mendekat dengan langkah riang. Tanpa ragu, Yerin berlari kecil ke arah mereka dan memeluk keduanya erat-erat.

“Ayah, Ibu! Aku senang sekali kalian pulang!” seru Yerin, suaranya penuh kebahagiaan.

Ibunya tertawa lembut sambil membelai kepala Yerin. “Kami juga rindu padamu, sayang. Maaf karena kami lama sekali tidak pulang.”

Ayahnya hanya tersenyum sambil mengusap bahu Yerin. Sementara itu, Jungkook yang berdiri di samping mereka hanya menunduk dan memeluk singkat ayah dan ibunya. Seperti biasa, ekspresinya dingin dan tak banyak bicara. Matanya lalu beralih menatap Yerin dengan tatapan tajam dan tidak suka, seolah-olah cemburu dengan kehangatan yang Yerin tunjukkan kepada orang tua mereka.

Selama makan siang, suasana hangat dan santai terasa di meja makan. Mereka membahas hal-hal ringan, seperti perjalanan bisnis yang baru saja selesai dan perkembangan bisnis keluarga. Namun, tiba-tiba, di tengah-tengah percakapan, sang Ibu melontarkan sebuah ide yang mengejutkan Yerin.

“Yerin,” Ibu berkata dengan senyum lembut, “bagaimana kalau mulai tahun ini kamu masuk sekolah? Aku rasa sudah saatnya kamu bersekolah seperti anak-anak lainnya.”

Yerin terkejut mendengar usul tersebut, dan ekspresi kegembiraan muncul di wajahnya. “Benarkah, Ibu? Aku bisa sekolah?”

Namun, kegembiraan Yerin dengan cepat pudar ketika melihat tatapan Jungkook yang dingin dan penuh ketidaksetujuan. Pandangannya yang tajam membuat Yerin terdiam, dan rasa takut mulai menjalari hatinya. Seolah ia tahu bahwa Jungkook tidak akan senang dengan ide ini.

Ibu menatap Jungkook, menyadari perubahan ekspresi anak laki-lakinya. “Jungkook, apa ada yang salah? Bukankah menurutmu Yerin juga pantas mendapatkan kesempatan ini?”

Jungkook menggenggam sendoknya dengan erat, suaranya dingin ketika akhirnya ia angkat bicara. “Dia tidak perlu sekolah, Ibu. Yerin sudah cukup belajar di rumah. Aku yang mengajarinya, dan itu lebih baik daripada di luar sana.”

Ayahnya mengerutkan dahi. “Kau bisa mengajari Yerin, tapi sekolah akan memberikan pengalaman sosial yang penting, Jungkook. Yerin harus punya teman sebaya.”

Jungkook menggeleng, tatapannya semakin tajam. “Dia tidak butuh pengalaman sosial yang berisiko. Lagipula, aku bisa menjaganya lebih baik daripada di sekolah, tempat yang tidak kita kenal keamanannya.”

Yerin menunduk, merasakan kegembiraannya perlahan tenggelam dalam rasa takut yang kembali mencengkramnya. Hatinya bertarung antara keinginan untuk sekolah dan ketakutan akan kemarahan Jungkook.

Ibunya tidak menyerah. “Jungkook, Ibu dan Ayah percaya kamu menjaga Yerin dengan baik, tapi dia perlu berinteraksi dengan dunia luar. Kamu tidak bisa mengurungnya selamanya.”

Kemarahan Jungkook mulai terlihat. “Mengurungnya? Aku hanya melindunginya! Dunia luar tidak selalu aman, dan aku tidak akan membiarkan Yerin berada di lingkungan yang bisa membahayakannya.”

Ayahnya mencoba menengahi. “Jungkook, Ibu dan Ayah mengerti kekhawatiranmu, tapi mungkin kamu terlalu berlebihan. Yerin punya hak untuk berkembang.”

Suasana meja makan yang tadinya hangat kini berubah tegang. Jungkook tetap pada pendiriannya, tatapannya semakin gelap, sementara kedua orang tuanya saling bertukar pandang, merasa cemas dengan sikap Jungkook yang keras kepala.

Yerin hanya bisa menatap piringnya, merasa bingung dan terjebak di antara harapan dan ketakutan. Meski hatinya berteriak ingin merasakan dunia luar, tatapan Jungkook yang tajam membuatnya kembali bungkam.






tbc

captivaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang