bab 14

11 4 0
                                    

Setelah makan malam, Yerin masuk ke kamarnya dengan langkah pelan, membawa perasaan gelisah yang menyesakkan dadanya. Ia baru saja menentang Jungkook secara terbuka—hal yang nyaris tak pernah ia lakukan sebelumnya. Hanya karena tisu yang ia beli untuk anak kecil di jalan, namun benda itu memiliki arti lebih dari sekadar tisu biasa. Itu adalah pengingat dari kepeduliannya yang tertahan, dan ia merasa tak pantas melepaskannya begitu saja.

Namun, harapan kecilnya untuk menyimpan tisu tersebut pupus saat pintu kamarnya perlahan terbuka. Di ambang pintu berdiri sosok Nyonya Kim, pelayan rumah yang telah lama bekerja untuk keluarga mereka. Raut wajah Nyonya Kim memancarkan rasa iba yang mendalam ketika ia menatap Yerin, lalu melirik sekilas pada tisu yang tergeletak di meja samping tempat tidur.

“Nona Yerin... saya harus membuangnya,” ucap Nyonya Kim dengan nada suara yang rendah, seolah berusaha agar kata-katanya tidak terdengar terlalu menyakitkan.

Yerin hanya menatap Nyonya Kim tanpa kata, matanya berkilat sedih. Tak ada perlawanan yang bisa ia tunjukkan. Ia tahu bahwa Nyonya Kim tak bisa berbuat banyak dalam situasi ini—wanita itu hanya menjalankan perintah.

Saat tangan Nyonya Kim bergerak untuk meraih tisu-tisu itu, Yerin hanya bisa menahan napas, merasa tak berdaya. Nyonya Kim, menyadari kesedihan mendalam di wajah Yerin, menghentikan tangannya sejenak dan mengusap lembut rambut Yerin.

“Jangan menyerah, Nona Yerin. Hidup memang tidak selalu adil, tapi… teruslah berusaha menjaga hati kecilmu yang baik itu,” bisiknya lembut, tatapan matanya penuh empati dan kasih sayang.

Yerin mengangguk lemah, air matanya menggenang tapi ia menahannya, mencoba bertahan dalam ketenangan yang rapuh.

Dengan hati-hati, Nyonya Kim mengambil tisu-tisu itu dan beranjak pergi. Tapi belum sempat ia meninggalkan kamar, pintu terbuka lebar dengan suara yang tajam, membuat Yerin dan Nyonya Kim terkejut. Di ambang pintu berdiri Jungkook dengan ekspresi datar, tatapannya tajam menembus keduanya. Ia memandang Nyonya Kim sejenak, sebelum beralih pada Yerin, yang langsung merasa menciut di bawah tatapan dingin itu.

“Yerin, sudah waktunya tidur,” ujarnya dengan nada suara yang dingin dan tegas, nyaris tanpa emosi. Jungkook tak perlu menaikkan suaranya—kehadirannya yang dingin sudah cukup untuk membuat ruangan itu terasa semakin mencekam.

Nyonya Kim segera menundukkan kepala dan keluar dari kamar, meninggalkan Yerin berhadapan dengan Jungkook sendirian.

Yerin mengangguk pelan, tubuhnya sedikit bergetar, namun ia berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Ia tahu bahwa melawan hanya akan memperburuk keadaan. Meski tubuhnya terasa kaku karena rasa takut, ia mencoba mengatur napasnya agar terlihat tenang, meski di dalam, jantungnya berdegup kencang.

Tanpa berkata lebih lanjut, Jungkook berjalan mendekat dan mengarahkan Yerin untuk berbaring di tempat tidur. Seolah tak ada yang salah atau kejam dari tindakannya, Jungkook mengatur selimut di sekeliling Yerin, memastikan bahwa ia berbaring dalam posisi yang diinginkannya. Perlahan, ia duduk di tepi tempat tidur, menatap Yerin dengan tatapan penuh kendali.

“Tidurlah sekarang,” perintahnya dengan suara yang lebih lembut namun tetap tegas. Wajahnya tampak dingin, namun tersirat sedikit perasaan puas di balik sikap tenangnya. Seolah, bagi Jungkook, kepatuhan Yerin adalah sesuatu yang mutlak.

Yerin menutup matanya, meski tubuhnya masih terasa tegang. Namun di balik kelopak matanya, ia bisa merasakan kehadiran Jungkook yang masih duduk di sisinya, mengawasi dengan intensitas yang membuat ruangan terasa semakin sesak. Malam itu, keheningan menjadi penghalang di antara mereka, namun Yerin merasakan sesuatu yang mencekam yang sulit ia hilangkan.

Beberapa saat kemudian, Jungkook akhirnya beranjak dari tempat tidur Yerin, namun tak lama kemudian, ia berbaring di samping Yerin. Pria itu menariknya dalam pelukan yang hangat tapi sekaligus menyesakkan. Di satu sisi, pelukan itu terasa lembut, namun di sisi lain, Yerin tahu bahwa pelukan itu adalah bentuk dari kendali yang dimiliki Jungkook atas dirinya.

---

Keesokan paginya, ketenangan yang sempat tercipta di malam hari itu langsung buyar ketika dering telepon terdengar dari laci meja samping tempat tidur Yerin. Jungkook, yang terbangun lebih dulu, mendengar suara itu dan segera mengulurkan tangan ke arah laci, menemukan ponsel Yerin yang berdering dengan nama “Eunbi” tertera di layar.

Tatapan Jungkook berubah, matanya menyipit, dan ekspresi wajahnya menunjukkan kemarahan yang semakin mendidih di dalam dirinya. Yerin telah melanggar perintahnya. Ia langsung merasa dikhianati dan marah—amat marah.

Tanpa pikir panjang, Jungkook mengangkat telepon itu, namun tak mengeluarkan suara apa pun. Suara Eunbi terdengar dari seberang, penuh dengan kekhawatiran, “Yerin, ini aku. Kamu di mana? Kenapa kamu nggak balas pesanku?”

Jungkook tak menanggapi, hanya diam mendengarkan suara itu dengan rahang yang mengeras. Tanpa banyak basa-basi, ia langsung menutup telepon dan melempar ponsel itu ke lantai dengan keras hingga pecah berantakan.

PRANGGG!!!

Suara keras itu membangunkan Yerin, yang langsung terduduk dengan wajah bingung. Ia melihat Jungkook dengan tatapan penuh ketakutan, namun ponsel yang tergeletak hancur di lantai menarik perhatiannya. Hatinya langsung tercekat—ia tahu apa yang telah terjadi.

“K-kak...” ucapnya pelan, suaranya bergetar hebat.

Jungkook menatapnya dengan tatapan tajam yang penuh kemarahan. Auranya gelap seakan hampir membuat Yerin tenggelam. “Sejak kapan kau berani melanggar perintahku, Yerin?” suaranya rendah namun penuh tekanan, seolah menahan luapan emosi yang sulit dibendung.

“Aku... aku hanya ingin...” Yerin mencoba menjelaskan dengan suara pelan, namun kata-katanya terputus di tengah kalimat, merasa tubuhnya semakin bergetar di bawah tatapan mengintimidasi kakaknya.

“KAU HANYA INGIN APA?!” Jungkook membalas dengan sinis, mendekatinya perlahan. Setiap langkah yang diambilnya membuat jantung Yerin berdebar semakin kencang, seolah jiwanya akan terlepas.

“A-aku... hanya ingin bicara dengan teman... Kak, aku tidak bermaksud...”

“Teman?” suara Jungkook terdengar semakin sinis. “Kau pikir kau punya hak untuk berbicara dengan orang lain, huh?”

Yerin menundukkan kepalanya, tak berani menatapnya lagi. Tubuhnya terasa lemas, namun ia berusaha mengumpulkan keberanian yang tersisa. “Kak, aku mohon... aku hanya...”

Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, Jungkook sudah mencekik lehernya dengan keras, memaksanya menatap ke arah wajah dingin dan penuh kemarahan itu. “Kau pikir kau bisa melawan perintahku?” bisiknya, suara rendah itu begitu penuh ancaman.

"Akhh..... K-kak...."

Yerin menahan napas, berusaha menahan air matanya yang akhirnya jatuh tanpa bisa dicegah. Hatinya terasa hancur, dan tubuhnya semakin bergetar hebat. Nafasnya serasa diujung tanduk.

“Kau harus ingat siapa yang punya kuasa di sini, Yerin. Dan aku tidak akan membiarkan hal ini terjadi lagi,” ujar Jungkook dengan nada suara yang menekankan setiap katanya.

Dengan satu gerakan kasar, ia mendorong Yerin ke ranjang, membiarkannya terisak di sana. “Mulai sekarang, kau tidak diizinkan keluar rumah atau sekolah. Kau akan tetap di sini sampai kau mengerti posisi dan batasmu.”

Sebelum meninggalkan kamar, Jungkook mengunci pintu dengan suara yang menggema. Dengan sisa tenaga, Yerin segera berlari ke pintu, mengetuk dan memanggil namanya berulang kali. “Kak, tolong buka pintunya! Aku mohon!”

Namun, tak ada jawaban dari luar. Air mata Yerin jatuh deras, merasa putus asa dan kesepian di dalam ruangan yang seolah menjadi penjara bagi dirinya sendiri.







tbc

captivaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang