Setelah hari itu, Yerin menghabiskan waktu terkurung di dalam kamar. Matahari yang menyinari jendelanya seolah mengejek kebebasan yang tak lagi dimilikinya. Di ruangan itu, hanya ada kesunyian yang menemaninya, ditemani bayangan ketakutan yang terus menyelimuti setiap sudut pikirannya. Sejak Jungkook mengunci pintu dan meninggalkannya semalam, Yerin tak bisa memikirkan apa pun selain kekosongan yang kini mengisi hidupnya.Ia duduk di sudut ruangan, bersandar pada dinding sambil memeluk lututnya. Tatapan matanya kosong, sembab, dan penuh luka yang tak kasat mata. Ia teringat kembali pada setiap peristiwa kecil yang memberinya secercah kebahagiaan selama ini—saat ia bercakap-cakap dengan Eunbi, saat ia memberikan tisu pada anak kecil di jalan. Namun, semua itu kini terasa jauh, seolah ada tembok tak terlihat yang memisahkannya dari dunia luar.
Tengah hari menjelang, suara langkah kaki terdengar mendekat ke kamarnya. Yerin segera mengangkat kepala, berharap siapa pun yang datang dapat membawanya keluar dari perasaan ini. Pintu terbuka, dan terlihat sosok Nyonya Kim, pelayan yang selama ini setia berada di sampingnya, meski dalam batasan-batasan yang ditetapkan Jungkook.
"Nona Yerin..." Nyonya Kim memanggil lembut, membawa nampan berisi makanan dan minuman. Suaranya pelan dan penuh kasih, seperti seorang ibu yang hendak menenangkan anaknya yang sedang terluka.
Yerin menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca, tak mampu menahan perasaan yang selama ini ia pendam. Ia ingin bicara, ingin menyampaikan ketakutannya, ingin memohon pertolongan. Tapi lidahnya terasa kelu, seolah kata-kata telah direnggut darinya.
Nyonya Kim meletakkan nampan di meja kecil, lalu menghampiri Yerin dengan langkah perlahan. Tanpa berkata apa-apa, ia duduk di samping Yerin dan mengusap lembut rambut gadis itu, sebuah isyarat bahwa ia mengerti apa yang dirasakan Yerin tanpa perlu mendengar kata-kata.
"Apa yang bisa saya lakukan untuk Nona Yerin?" bisik Nyonya Kim dengan lembut, menatap gadis itu dengan pandangan penuh iba.
Yerin menggeleng pelan. "Aku... aku tidak tahu, Nyonya Kim," jawabnya akhirnya, suara yang keluar terdengar serak dan lemah. "Aku merasa... seolah tak punya siapa-siapa lagi."
Nyonya Kim menarik napas dalam, wajahnya tampak penuh duka melihat penderitaan yang dialami Yerin. "Yerin, saya tahu ini sulit, tapi kamu harus kuat. Dunia ini terkadang kejam pada orang yang baik hati sepertimu. Tapi yakinlah, suatu hari nanti akan ada jalan keluar."
Yerin mengangguk pelan, meski dalam hatinya, ia meragukan kata-kata itu. Ia ingin percaya, tapi setiap hari yang ia jalani hanya menambah luka di hatinya. Dan di balik semua itu, bayangan wajah dingin kakaknya selalu menghantuinya, mengingatkannya pada keterbatasan yang harus ia terima.
Sesaat kemudian, langkah kaki terdengar lagi di lorong. Nyonya Kim terkejut dan segera berdiri, menatap Yerin dengan pandangan yang memberi isyarat agar ia tetap tenang. Jungkook muncul di ambang pintu dengan wajah datar namun sorot matanya tajam mengawasi setiap gerakan di ruangan itu.
"Nyonya Kim, silakan keluar," ujar Jungkook dengan nada tegas yang tak menyisakan ruang untuk perlawanan.
Nyonya Kim hanya bisa menundukkan kepala, memberi satu tatapan penuh kasih pada Yerin sebelum beranjak pergi. Pintu tertutup dengan suara pelan, meninggalkan Yerin dan Jungkook dalam keheningan yang membuat udara di kamar terasa semakin tebal.
Yerin duduk dengan gugup di tepi ranjangnya, berusaha menenangkan dirinya agar tidak menunjukkan ketakutannya di depan Jungkook. Pria itu menatapnya sejenak, seolah menilai apakah gadis itu sudah cukup "belajar" dari perbuatannya.
"Kau tahu kenapa aku melakukan ini, bukan?" suara Jungkook dingin, namun nadanya terdengar seperti seorang guru yang sedang menegur muridnya.
Yerin hanya mengangguk, terlalu takut untuk menjawab. Rasa takutnya terhadap kakaknya sudah terlalu dalam, terlalu mendarah daging. Namun, di balik ketakutan itu, ada sebersit perlawanan yang tak bisa ia kubur sepenuhnya.
"Aku melakukan ini karena aku peduli," lanjut Jungkook, menatap Yerin dengan pandangan yang membuatnya sulit untuk membedakan antara perhatian dan dominasi yang mencekam. "Dunia di luar sana bukan tempat yang aman untukmu. Kau harus mengerti itu."
"Tapi, Kak... aku hanya ingin punya teman," suara Yerin terdengar bergetar, mencoba mengumpulkan keberaniannya untuk menyuarakan isi hatinya.
"Teman? Apa yang kau harapkan dari mereka? Mereka hanya akan membuatmu lemah," balas Jungkook, nada suaranya semakin tajam. "Aku adalah satu-satunya yang kau butuhkan. Hanya aku yang bisa menjagamu."
Yerin merasakan matanya mulai memanas, perasaan marah dan sedih bergejolak di dalam dirinya. "Tapi, aku... aku juga punya kehidupan sendiri... aku ingin bisa merasakannya..."
Namun belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, Jungkook mendekat dan meraih dagu Yerin dengan kasar, memaksanya untuk menatap wajahnya. "Kau tidak perlu merasakannya, Yerin. Yang perlu kau lakukan hanyalah mengikuti apa yang kukatakan."
Air mata Yerin akhirnya jatuh, mengalir di pipinya tanpa bisa ia tahan. Rasa sakit di dagunya terasa sepele dibandingkan dengan luka yang menghancurkan hatinya. Jungkook melepaskan cengkeramannya, wajahnya datar tanpa menunjukkan sedikit pun rasa penyesalan.
"Aku akan memberi waktu untukmu berpikir," kata Jungkook sambil berjalan menuju pintu. "Jika kau siap untuk mengikuti perintahku, baru kau bisa keluar dari kamar ini."
Tanpa berkata lebih lanjut, Jungkook meninggalkan kamar itu dan mengunci pintunya dari luar, membiarkan Yerin sendirian dalam ruangan yang terasa semakin menyempit. Pintu yang tertutup mengeluarkan suara berat, seolah mengunci setiap harapan yang mungkin dimiliki Yerin.
Yerin hanya bisa terdiam di tempatnya, merasakan kesepian yang semakin dalam. Kepalanya tertunduk, bahunya berguncang lemah. Satu-satunya suara yang terdengar adalah tangisnya yang lirih, bergaung di dalam kamar kosong yang kini menjadi penjara bagi dirinya.
tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
captiva
FanfictionYerin adalah seorang gadis polos yang tumbuh sebagai anak angkat di keluarga kaya raya, keluarga Jeon. Di balik kehidupan mewahnya, Yerin terperangkap dalam kendali Jungkook, putra tunggal keluarga itu yang keras, dingin, dan memiliki kekuasaan penu...