Waktu terasa seperti bayangan bagi Yerin, berlarian cepat tanpa benar-benar meninggalkan sesuatu yang bermakna. Kini ia berada di tahun terakhirnya di SMA, tapi tak ada yang berubah. Kehidupannya seakan berhenti berputar, hanya tertuju pada satu titik: Jungkook, kakaknya yang menggenggam kendali atas setiap aspek hidupnya.Setelah kehilangan Eunbi, Yerin tak pernah lagi punya teman dekat. Dia semakin terisolasi, menjauh dari teman-teman di kelasnya. Wajah dingin yang ditunjukkannya membuat orang lain enggan mendekatinya. Baginya, semua ini sudah seperti rutinitas yang tanpa akhir.
Hari ini adalah hari yang penting bagi Jungkook. Hari kelulusannya sebagai lulusan terbaik, berdiri di atas panggung memberikan pidato dengan wajah tenang dan percaya diri. Di antara tepuk tangan yang bergemuruh, Yerin duduk di barisan belakang, menatap kakaknya dengan campuran rasa takut dan ketidakberdayaan.
Dari atas podium, Jungkook menatap langsung ke arah Yerin. Tatapannya dingin, penuh kepastian. Sebuah ancaman yang tak perlu diucapkan. Yerin menunduk, seolah-olah pandangan Jungkook itu mengunci tubuhnya, membuatnya tak berani bergerak.
Setelah acara kelulusan selesai, orang tua Yerin dan Jungkook berdiri dan berjalan menghampiri Jungkook di depan panggung. Yerin mengikuti mereka dari belakang, langkahnya pelan, tubuhnya terasa lemah di bawah beban pikiran yang menghantuinya.
Sesampainya di depan Jungkook, ayah mereka memulai percakapan, memecah keheningan di antara mereka.
“Selamat, Jungkook. Kami sangat bangga padamu,” ujar ayahnya sambil tersenyum bangga. Tangan sang ayah menepuk bahu Jungkook dengan penuh kasih.
“Terima kasih, Ayah,” jawab Jungkook tenang.
Ibunya, Nyonya Jeon, menambahkan dengan nada lembut, “Kau telah bekerja sangat keras, Nak. Kami tahu semua ini pasti tak mudah bagimu.”
“Tidak masalah, Bu,” balas Jungkook, menatap ibunya dengan senyum tipis. “Ini adalah sesuatu yang memang sudah menjadi tugasku.”
Di sebelahnya, Yerin hanya diam, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Jungkook melirik ke arah Yerin dan mendekatinya. Dengan gerakan yang seolah penuh kasih, Jungkook merangkul bahu Yerin erat-erat. Dari luar, rangkulan itu terlihat seperti perhatian seorang kakak terhadap adiknya. Namun bagi Yerin, rangkulan itu terasa menekan, seperti penanda bahwa ia tidak boleh melupakan posisinya.
“Ayo, kita pulang,” bisik Jungkook pelan di telinga Yerin. Suaranya lembut, tapi nada otoritas itu jelas terasa, memotong habis keberanian Yerin untuk berkata apa pun.
Di dalam mobil, suasana hening. Orang tua mereka duduk di depan, sementara Jungkook dan Yerin duduk di kursi belakang. Selama beberapa saat, hanya ada suara mesin mobil yang memecah keheningan di antara mereka.
Ibu mereka akhirnya memecah keheningan dengan sebuah pertanyaan penuh harapan. “Jadi, Jungkook, apa rencanamu setelah ini?” tanyanya dengan hati-hati, tatapannya penuh harap saat melihat ke arah anak laki-lakinya melalui kaca spion.
“Apa kau sudah memikirkan masa depanmu, Nak?” tambah Ayahnya, suara beratnya penuh harapan. “Kami berharap kau bisa ikut ke New York dan membantu mengelola bisnis keluarga. Kau tahu betapa pentingnya hal itu bagi kita semua.”
Jungkook menarik napas pelan, matanya tetap menatap lurus ke depan tanpa ekspresi. “Tidak, aku tidak tertarik ke New York, Ayah,” jawabnya dengan nada datar, seakan itu adalah keputusan final.
Tuan Jeon terdiam sejenak, kaget dengan jawaban yang begitu tegas. Ia mencoba menyusun kata-kata sebelum melanjutkan. “Jungkook, ini bukan soal pilihan pribadi. Ini adalah tanggung jawab terhadap keluarga kita. Kau harus mulai memikirkan tentang masa depan dan apa yang bisa kau lakukan untuk keluarga ini.”
Jungkook mengangkat alis sedikit, menunjukkan ketidaktertarikannya. “Aku tidak punya keinginan untuk terlibat dalam bisnis keluarga. Hidupku ada di sini, dan aku akan mengurus semuanya di sini,” jawabnya lagi dengan suara dingin.
Mendengar ketegasan dalam suara Jungkook, ayahnya mulai merasa frustrasi. “Jungkook, kau tahu ini bukan hanya soal kau sendiri. Ini tentang keluarga, tentang warisan yang sudah kami bangun bertahun-tahun.”
Namun, Jungkook tak menunjukkan tanda-tanda akan mengalah. “Ayah, tolong. Aku sudah memutuskan. Jangan buat aku mengulangi ini berkali-kali.”
Mendengar ketegangan yang mulai meningkat, ibunya mencoba menengahi, “Sudahlah, mungkin ini bukan waktu yang tepat untuk membahasnya. Kita bisa bicara lagi nanti.”
Suasana di dalam mobil menjadi semakin tegang, tapi akhirnya percakapan berakhir setelah ibu mereka berhasil melerai. Tuan Jeon hanya menghela napas panjang, menerima bahwa anaknya tidak akan mengubah keputusannya.
Setelah beberapa saat, mereka tiba di rumah. Begitu turun dari mobil, Jungkook merangkul Yerin lagi dengan erat, bahkan lebih erat dari sebelumnya. Orang tua mereka yang tak mengetahui apa-apa menganggap ini sebagai tanda kasih sayang seorang kakak kepada adiknya.
“Jangan jauh-jauh dariku, Yerin,” bisik Jungkook pelan sambil menggenggam bahu adiknya. “Aku tidak akan pernah melepaskanmu. Kau tahu itu, kan?”
Yerin hanya mengangguk pelan, tak berani menatap langsung ke mata Jungkook. Tubuhnya bergetar sedikit karena ketakutan, tapi ia tak punya keberanian untuk menolak kata-kata kakaknya.
tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
captiva
FanfictionYerin adalah seorang gadis polos yang tumbuh sebagai anak angkat di keluarga kaya raya, keluarga Jeon. Di balik kehidupan mewahnya, Yerin terperangkap dalam kendali Jungkook, putra tunggal keluarga itu yang keras, dingin, dan memiliki kekuasaan penu...