bab 20

10 2 0
                                    

Waktu menunjukkan pukul delapan malam saat Yerin dan Jungkook kembali ke villa. Langit sudah gelap sepenuhnya, hanya diterangi lampu-lampu jalan yang menyebarkan sinar redup. Mereka berdua melangkah masuk ke dalam villa, menuju kamar masing-masing. Namun, ketika mereka tiba di ruang tengah, Yerin dapat mendengar suara ayah dan ibu mereka bercakap-cakap, terdengar hangat dan santai.

“Ah, kalian sudah kembali!” panggil Nyonya Jeon sambil tersenyum hangat begitu menyadari kehadiran mereka.

Ayah mereka, Tuan Jeon, menatap mereka berdua dengan pandangan yang penuh perhatian, terutama pada Yerin yang tampak letih dengan tatapan kosong yang sulit disembunyikan. Ekspresi Yerin tak lepas dari perhatian mereka.

“Yerin, kau baik-baik saja, nak?” tanya Nyonya Jeon lembut, raut wajahnya khawatir saat melihat putrinya yang tampak sedikit pucat.

“Tidak apa-apa, Bu. Mungkin Yerin hanya sedikit kelelahan,” Jungkook menjawabnya dengan tenang, memasang wajah tanpa cela, seolah semuanya baik-baik saja.

Yerin mengangguk kecil, mengikuti alur kata-kata Jungkook tanpa menambahkan apapun. Dia merasa terlalu lelah untuk menjelaskan atau bahkan menunjukkan kegelisahan yang sebenarnya masih menghantuinya. “Ayah, ibu, aku ingin berganti pakaian dulu,” pamitnya lirih dan melangkah pergi tanpa menunggu jawaban lebih lanjut. Jungkook tetap berdiri di samping orang tuanya, tak mengalihkan pandangannya dari Yerin hingga dia hilang dari pandangan.

Setelah Yerin pergi, suasana yang tadi hangat berubah serius. Tuan Jeon berdeham kecil, memulai obrolan yang sudah beberapa hari terakhir memenuhi pikirannya.

“Jungkook,” panggil Tuan Jeon tegas, nada suaranya berubah serius.

Jungkook menatap ayahnya dengan tenang, meski dia sudah bisa menduga topik yang akan muncul dari obrolan ini. Ayahnya menarik napas panjang, mempersiapkan kata-kata yang jelas sudah ia pikirkan matang-matang.

“Sudah beberapa kali aku bicarakan padamu,” lanjut Tuan Jeon, suaranya penuh dengan tekanan halus namun tegas. “Aku ingin kau mempertimbangkan untuk pindah ke New York, membantu bisnis keluarga yang sudah kubangun selama bertahun-tahun. Aku butuh penerus yang bisa menggantikan posisiku di sana, dan siapa lagi kalau bukan kau?”

Jungkook tetap tenang, namun di dalam benaknya ada gejolak yang menahan dirinya dari mengikuti permintaan itu. Dengan suara mantap, dia menjawab, “Ayah, aku menghargai apa yang telah Ayah bangun selama ini. Tapi aku punya rencana sendiri di sini, aku tidak ingin pindah ke New York atau meninggalkan rumah ini.”

Jawaban Jungkook yang lugas dan dingin membuat suasana mendadak memanas. Tuan Jeon menatapnya dengan pandangan tajam, menunjukkan bahwa dirinya bukan orang yang mudah menerima penolakan, apalagi dari putranya sendiri.

“Ini bukan permintaan biasa, Jungkook. Ini tentang masa depan keluarga kita,” ujar Tuan Jeon dengan nada tegas, tatapannya semakin tajam. “Kau harus paham bahwa yang terbaik untuk keluarga adalah kau ikut ambil bagian dalam bisnis ini. Kau bisa saja punya rencana lain, tapi ini juga tanggung jawabmu.”

Jungkook menarik napas dalam, menahan keinginannya untuk memberikan respons yang lebih keras. Namun, dia tidak bermaksud menyerah pada permintaan ini.

“Ayah, dengan segala hormat, aku sudah memutuskan untuk menetap di sini dan menjalankan hidupku dengan caraku sendiri. Aku bukan anak kecil lagi yang bisa begitu saja mengikuti perintah tanpa pertimbangan,” jawabnya tetap tegas, nada suaranya menahan ketegangan yang mulai muncul.

Tuan Jeon tampak semakin tidak puas dengan jawaban itu. Dia mengetuk-ngetukkan jarinya ke sandaran kursi dengan gerakan yang mengisyaratkan bahwa kesabarannya mulai habis. “Kau tidak bisa berpikir hanya untuk dirimu sendiri, Jungkook. Ini soal masa depan keluarga Jeon. Aku sudah memberikanmu kebebasan selama ini, tapi sekarang aku ingin kau membantu menjaga apa yang sudah kubangun.”

Nyonya Jeon yang menyaksikan percakapan antara suami dan anaknya merasa cemas, namun ia tetap menahan diri untuk tidak terlalu mencampuri. Dia tahu, baik suaminya maupun Jungkook, sama-sama memiliki kepala yang keras. Satu-satunya hal yang bisa dia lakukan hanyalah mencoba meredakan ketegangan itu.

“Baiklah,” ucap Tuan Jeon setelah menghela napas panjang, nadanya sedikit melunak tapi masih ada ketegasan di dalamnya. “Aku akan memberimu waktu untuk berpikir. Sampai liburan ini berakhir, aku harap kau bisa mempertimbangkan lagi tawaranku. Setidaknya, pertimbangkan baik-baik. Keluarga kita membutuhkanmu, dan ini bukan hanya tentang pilihan, tapi tanggung jawab.”

Jungkook menatap ayahnya dengan tatapan tajam, lalu mengangguk dengan sedikit enggan. Meski ia tahu ini akan sulit, dia memilih untuk tidak menanggapi lebih lanjut. Tuan Jeon menganggap keputusan ini sudah cukup untuk saat ini dan memutuskan untuk tidak memperpanjang perdebatan.

“Aku akan menunggu kabar baik darimu,” tambah Tuan Jeon, dengan sedikit nada ancaman tersirat dalam ucapannya.

Setelah percakapan itu, suasana ruang tamu terasa lebih sunyi, penuh dengan tekanan yang belum benar-benar hilang. Jungkook duduk diam, mengatur napasnya dan menahan amarah yang perlahan tumbuh di dalam dirinya. Rencana hidupnya sudah ia susun rapi, dan ia tidak berniat untuk mengubahnya hanya karena keinginan ayahnya.

Di kamar lain, Yerin berdiri di balik pintu kamarnya, tanpa sengaja mendengar sebagian percakapan itu. Meski tidak memahami seluruh isi percakapan, dia bisa merasakan ketegangan yang mengisi udara antara ayah dan kakaknya. Bagi Yerin, ini adalah momen langka melihat Jungkook menghadapi tekanan yang tidak biasa.

Namun, meski terasa berat, Yerin tahu bahwa Jungkook selalu bisa bertahan. Dan dia hanya berharap, apa pun yang terjadi, keadaan tidak akan semakin sulit baginya.







tbc

captivaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang