bab 22

7 2 0
                                    

Keluarga Jeon akhirnya tiba di rumah mereka setelah perjalanan panjang dari Jeju. Meski masih lelah, suasana rumah terasa lebih nyaman, terutama bagi Yerin, yang masih punya waktu dua hari sebelum tahun ajaran baru dimulai. Di sinilah ia sekarang, berada di kamar kakaknya, Jungkook, duduk di pangkuannya sambil mendengarkannya membaca buku.

Sesekali Yerin bergerak tak nyaman, merasa sudah cukup besar untuk berada di posisi seperti ini. Namun, ia hanya diam, menahan rasa gelisah yang menumpuk di dadanya. Protes bukanlah sesuatu yang berani ia suarakan di hadapan Jungkook.

Jungkook, tentu saja, menyadari setiap gerakan kecil dari Yerin. Matanya perlahan menurunkan buku yang dibacanya, kemudian ia menatap wajah Yerin dengan intens. Lalu tanpa peringatan, ia menyimpan bukunya di samping, merengkuh Yerin lebih erat, memeluk pinggangnya dari samping.

Dagu Jungkook dengan nyaman bersandar di bahu Yerin, menghirup aroma yang sudah menjadi kesukaannya, aroma yang tak pernah bosan ia nikmati. Sesekali, ia mengecup pipi Yerin dengan lembut, membuat Yerin sedikit tersentak tapi tetap diam.

"Bagaimana dengan sekolahmu? Apakah ada yang berubah? Kau tetap mengikuti semua aturan yang kuberikan, bukan?" tanyanya, suaranya rendah dan terdengar hampir mengancam meski terdengar lembut di telinga Yerin.

Yerin mengangguk pelan, sedikit gelisah dengan jarak mereka yang sangat dekat. "I-iya, Kak... Aku tetap mengikuti peraturanmu."

Jungkook tersenyum kecil, seolah puas dengan jawabannya. “Bagus. Aku ingin memastikan kau tidak mencoba melanggar apapun, Yerin.”

Percakapan mereka berlanjut, terutama saat Jungkook menyadari bahwa ia tak lagi bisa mengawasi Yerin di sekolah nanti. Ini membuatnya sedikit gusar, dan Yerin bisa merasakan kecemasannya.

“Jadi… ingat ini baik-baik,” ucap Jungkook serius sambil menatap Yerin dalam-dalam, “tidak ada teman pria. Jangan biarkan siapa pun terlalu dekat denganmu. Dan selalu pulang tepat waktu, kau dengar?”

Yerin hanya bisa mengangguk tanpa suara. Ia tahu, jika berani menyela atau membantah, Jungkook akan semakin ketat padanya.

Namun, di tengah percakapan itu, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu kamar. Jungkook menghela napas kesal, melepaskan pelukannya dari Yerin dan menurunkannya dengan perlahan ke kasur. Tatapan dingin terpancar dari wajahnya saat ia berjalan menuju pintu, lalu membukanya dengan ekspresi datar.

Di sana berdiri Nyonya Kim, pelayan setia keluarga Jeon. Wajahnya tampak agak cemas, seolah tahu bahwa kehadirannya mungkin tidak diinginkan.

“Tuan muda, maaf mengganggu. Tuan Jeon memanggil Anda ke ruang kerjanya,” ucapnya dengan sopan.

Jungkook berdecak kesal namun tetap mengangguk singkat. Sebelum pergi, ia kembali mendekati Yerin, tatapannya serius dan penuh peringatan. “Tetap di sini, jangan kemana-mana sampai aku kembali, mengerti?”

Yerin hanya bisa mengangguk patuh, dan Jungkook pun akhirnya meninggalkan kamar, menuju ruang kerja ayahnya.

---

Begitu masuk ke ruang kerja Tuan Jeon, suasana mencekam langsung terasa. Ayahnya berdiri di dekat jendela, memandang keluar tanpa menoleh. Jungkook menutup pintu perlahan, menatap punggung ayahnya dengan ekspresi dingin, bersiap menerima percakapan yang tak diinginkannya.

Beberapa detik keheningan berlalu sebelum akhirnya Tuan Jeon angkat bicara, suaranya tenang namun penuh dengan ketegasan yang sulit disangkal. “Jadi, bagaimana? Sudahkah kau mempertimbangkan tawaran Ayah?”

Jungkook mendengus, sudah tahu kemana arah pembicaraan ini akan pergi. “Jawabanku masih sama, Ayah. Aku tidak akan pergi ke New York.”

Tuan Jeon mengangguk pelan, seolah mengharapkan jawaban itu. Ia menghela napas, kemudian berbalik menghadap Jungkook dengan senyum kecil yang nyaris sinis. “Kau benar-benar keras kepala, seperti biasa. Tapi ingat, Ayah tidak suka mendengar penolakan.”

“Dan seperti yang sudah kukatakan, aku punya rencana sendiri di sini. Aku tidak akan membuang waktu untuk hal yang tidak penting bagiku,” balas Jungkook, suaranya tegas tanpa keraguan.

Tuan Jeon tertawa kecil, namun ada nada dingin di balik tawanya. “Begitu keras kepalamu... Tapi, jika begitu, Ayah juga harus melakukan sesuatu.”

Jungkook menatap ayahnya dengan tatapan curiga. “Apa maksud Ayah?”

Tatapan Tuan Jeon berubah, menjadi lebih tajam dan penuh makna. “Yerin.”

Seketika, Jungkook membeku. Tatapan ayahnya yang tajam itu penuh ancaman yang menyakitkan. “Apa maksud Ayah dengan Yerin?”

“Perhatianmu pada adikmu... terlalu berlebihan, bahkan untuk ukuran kakak-beradik.” Tuan Jeon menyeringai, seolah menantang Jungkook. “Ayah sudah lama mengamati, Jungkook. Dan apa yang Ayah lihat... tidak bisa Ayah abaikan begitu saja.”

Jungkook merasa dadanya bergemuruh, namun ia tetap berusaha menjaga ekspresi wajahnya. “Yerin adalah tanggung jawabku. Aku hanya melindunginya, Ayah.”

“Oh? Benarkah?” Tuan Jeon berjalan mendekat, menatap Jungkook tajam. “Jika begitu, jelaskan apa yang kau lakukan di kamar Yerin saat kita di Jeju. Apa yang Ayah dengar.... menjijikkan. Bukan seperti seorang kakak pada adiknya.”

Wajah Jungkook berubah pucat. Ia terkejut bukan main bahwa ayahnya telah menyadari sejauh itu. Suaranya bergetar saat ia berusaha menyangkal. “Ayah, itu tidak seperti yang Ayah pikirkan...”

“Benarkah? Kau pikir Ayah bodoh, Jungkook?” Tuan Jeon mengangkat alisnya, sinis. “Satu-satunya alasan Ayah membiarkanmu selama ini adalah karena kau anak Ayah. Tapi jika kau tak bisa diatur… Ayah tidak segan-segan mengambil Yerin darimu.”

Kalimat terakhir itu membuat Jungkook tercekat. Ia menatap ayahnya dengan kemarahan terpendam, namun tak berani menjawab. Tuan Jeon tersenyum dingin, seolah menikmati reaksi Jungkook. Kini ia mengetahui kelemahan Jungkook.

“Ayah memberi waktu sampai akhir minggu. Pikirkan baik-baik. Pilihannya sederhana, Jungkook. Terima tawaran Ayah dan berangkat ke New York, atau kehilangan Yerin selamanya.”

Tanpa menunggu jawaban, Tuan Jeon berbalik, meninggalkan Jungkook yang terpaku dalam kegeraman dan kebencian.








tbc

captivaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang