Di Akademi

6 0 0
                                    

Nior mondar-mandir di depan pintu ruangan semi istimewa, di bawah pancaran cahaya redup dari lampu gantung antik. Dinding krem yang dihiasi ornamen kayu elegan terasa menyesakkan, seakan menggiring setiap detik waktu menjadi lebih berat. Kaki Nior berhenti sejenak, tangannya meremas ujung jaketnya yang lusuh, sementara mata cemasnya melirik ke arah jarum jam dinding yang berdetak tanpa henti, seperti sebuah sindiran.

"Berapa lama lagi aku harus menunggu?" gumamnya lirih, suaranya hampir tenggelam oleh keheningan lorong panjang yang berkilau oleh pantulan lantai marmer.

Di tengah ketegangan itu, langkah kaki bergema. Nior menoleh dengan harap yang seketika redup saat melihat Chaesaril muncul dari balik lorong. Senyum khas Chaesaril—sombong dan penuh teka-teki—tersungging tipis. Jaket kulitnya memberi kesan garang, tetapi matanya memancarkan kepedulian yang tak bisa disembunyikan.

"Nior, ada apa?" tanya Chaesaril, suaranya serak tapi lembut. Raut wajahnya meneliti ekspresi Nior yang nyaris tak terbaca.

"Chaesaril..." bisik Nior, sedikit terperanjat. Ia menghela napas panjang, berusaha menenangkan ketegangan yang menguasainya. "Aku menunggu Althaf. Dia sedang menjalankan misi berbahaya bersama Avand dan Dariand."

Senyum tipis Chaesaril perlahan menghilang, berganti dengan tatapan serius. "Misi itu... misi yang bahkan para petarung senior enggan mengambilnya. Pantas saja kau gelisah," ujarnya dengan nada yang lebih dalam. "Tapi... kenapa? Kau biasanya tak pernah segelisah ini hanya karena seseorang."

Nior menatap kosong ke arah pintu di depannya, tatapannya jauh. "Aku... aku punya teman sekarang. Althaf, Evan, Nopla, kamu, Alip... dan Eggi, entah dia di mana sekarang dengan misinya sendiri. Mereka bukan hanya sekadar teman; mereka keluarga. Aku ingin berteman dengan mereka selamanya, tak peduli seberapa sulitnya."

Chaesaril menghela napas panjang, matanya menatap jauh ke arah lorong seolah mencari jawaban di balik bayang-bayang. "Nior... kita ini manusia. Hati dan jiwa manusia selalu berubah. Bagaimana kalau... mereka yang kau lindungi, mereka yang kau anggap teman, akhirnya mengkhianatimu?"

Nior menundukkan kepala, tangannya gemetar menahan perasaan yang membuncah di dadanya. Matanya terpejam sejenak, lalu terbuka dengan seulas senyum samar, penuh luka namun penuh ketulusan. "Kalau itu membuat mereka bahagia dan nyaman... aku akan menerimanya."

Kata-kata itu membuat Chaesaril terdiam, terpana. Lalu, senyum penuh pengertian muncul di wajahnya. "Kau sungguh luar biasa, Nior. Kau tahu, Alip itu bukan hanya gurumu. Dia juga sahabatku. Dia adalah lambang persahabatan yang abadi di antara para pejuang akademi ini. Pejuang yang tak pernah membunuh, tetapi mengubah musuhnya menjadi sekutu. Namun, dia pun tak bisa bersahabat dengan Eggi, si petinju api, karena alasan yang hanya mereka tahu."

Nior mengangkat kepala, matanya berbinar dengan pertanyaan. "Kenapa, Chaesaril? Kenapa Alip...?"

Chaesaril mendekat, menepuk bahu Nior dengan tatapan tajam namun penuh kehangatan. "Karena setiap jiwa memiliki batasnya, setiap persahabatan diuji oleh perbedaan. Tapi ingat ini, Nior: kekuatan sejati bukanlah menghancurkan, melainkan menjaga meski harus terluka. Seperti dirimu yang rela berkorban demi kebahagiaan teman-temanmu. Itu adalah kekuatan yang hanya dimiliki oleh para pejuang sejati."

Nior menatap Chaesaril dengan mata berkaca-kaca, rasa lega perlahan merayap di hatinya. Di tengah kecemasan yang menggerogoti, ada satu hal yang pasti—persahabatan mereka, meski tak sempurna, adalah sumber kekuatan yang membuat mereka bertahan.

Dunia yang berdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang