37. Traitor

187 19 3
                                    

12 Jam kemudian....

Saat aku perlahan membuka mata, rasa sakit yang tumpul menusuk di perutku menjadi pengingat atas apa yang baru saja kualami. Cahaya redup dari lampu di ruangan ini terasa terlalu terang untuk mataku yang lelah. Aku mencoba menggerakkan tubuhku, tapi rasa nyeri di perutku membuatku tersentak dan meringis. 

Aku baru menyadari adanya selang infus yang terpasang di tangan kiriku, dan dinginnya jarum itu seolah menyatu dengan dinginnya ruangan. Ada mesin di samping tempat tidurku yang berbunyi pelan, mungkin monitor untuk memantau kondisiku. Tubuhku terasa lemah, seolah-olah setiap energi telah terkuras habis. 

"Jangan terlalu banyak bergerak," sebuah suara yang tidak asing tapi juga bukan yang ingin kudengar, terdengar di dekatku. 

Aku menoleh dengan perlahan. Dan di sanalah, seorang pria yang selama ini ingin sekali aku temui dan kubicarakan banyak hal padanya, tengah duduk duduk di kursi dekat ranjangku.

"Mike?" suaraku keluar serak. Tenggorokanku terasa kering dan kata-kata itu hampir tidak terdengar. 

"Syukurlah kau sadar," katanya, berdiri dari kursinya. Dia mendekat, tangannya terulur untuk membantu membenarkan posisi bantalku. "Kau hampir saja kehilangan nyawamu." 

Aku mengerjap, mencoba mengumpulkan ingatan. "Kenapa kau di sini? Julius... di mana dia?" tanyaku, mengabaikan apa yang baru saja dia katakan. Pikiranku langsung mencari sosok yang seharusnya ada di sini bersamaku. 

Mike terlihat ragu, seolah-olah dia sedang memilih kata-katanya. "Dia... sedang mengurus sesuatu. Dia memintaku untuk tetap di sini sampai dia kembali." 

Jawabannya terasa kosong. Julius tidak pernah meninggalkanku dalam situasi seperti ini sebelumnya. Julius tidak mungkin membiarkan Mike di sini. Jantungku berdebar cemas, tapi aku mencoba menenangkan diri. "Kau bohong. Mengurus apa?" desakku. 

Mike mendesah, ekspresinya serius dan waspada, jelas dia menyembunyikan sesuatu, tetapi aku juga bisa melihat dia berjuang untuk mengatakan apa yang harus dia katakan padaku. "Tidak perlu khawatir. Yang penting, kau aman. Dokter bilang pelurunya tidak mengenai organ vital, jadi dengan istirahat yang cukup, kau akan baik-baik saja." 

Aku menghela napas, meskipun rasa sakit di perutku membuat setiap tarikan napas terasa berat. "Aku ingin bertemu Julius," pintaku dengan tegas.

Ekspresi Mike berubah, rasa bersalah melintas di matanya namun segera dia sembunyikan. "Dia... harus mengatasi situasi yang ada. Terlalu banyak kekacauan. Dia akan segera kembali. Aku janji."

Aku tertawa getir. "Janji? Seseorang sepertimu? Setelah semua yang kau lakukan padaku?"

Aku benar-benar tidak menyangka setelah semua rentetan kejadian ini dia masih memiliki keberanian untuk menemuiku. Bahkan janjinya untuk menjemputku ketika aku telah menyerahkan encoder pada Salvatore tidak pernah dia penuhi. Salvatore sepertinya mengatakan kebenaran ketika bilang bahwa Mike hanyalah seorang pengecut yang hanya ingin melindungi dirinya sendiri. Karena pada akhirnya orang yang selalu ada di sisiku dan menolongku hanyalah Julius.

Alih-alih menyelamatkanku dari Julius secara langsung dia malah memilih membuat kesepakatan dengan seorang monster.

Sebelumnya aku ingin menemui Mike, sangat ingin. Tapi setelah apa yang menimpaku melibatkan Salvatore sudah cukup menyadarkanku bahwa tidak ada yang bisa aku harapkan darinya.

Mike tersentak, kebenaran di dalam kata-kataku jelas menyakitinya. Dia menatapku dengan campuran rasa sakit dan bersalah, matanya menghindari tatapanku. "Aku tahu aku mengacau. Aku idiot dan pengecut. Aku membuat kesalahan besar dan aku minta maaf."

JuliusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang