30. Jungkir Balik Kerja

465 92 23
                                    

Dua minggu terakhir, aku kesulitan bertemu Albi. Bang Sabda seperti sengaja menumpuk jadwal kerjaku. "Bang, aku beneran nggak punya free time nih? tolong sempilin jadwal dong Bang, buat kamis malem. Aku mau dinner sama cowokku. Kangen banget sumpah."

Bang Sabda menulikan telinganya, Ia terus fokus mengerjakan sesuatu di laptopnya. "Bang, ayolah. Kamis malem aku mau free, please." Aku sampai harus berjongkok di samping kursinya dan memegang lengan kirinya hanya untuk membuat laki-laki ini menoleh.

"Nggak bisa Ta. Kalau mau, jum'at siang aku aturin lagi. Pacarmu juga palingan nggak jum'atan kan? nah, kalian bisa pergi bareng tuh, buat makan siang." Sudut bibir Bang Sabda sedikit naik saat mengatakannya, jelas sekali meremehkan. Wajahku seketika mengeras.

Aku kini berdiri menjulang di sisi kirinya, mengintimidasi lewat tatapan. "Jangan ngerendahin cowokku, dan bersikap paling alim. Atas dasar apa nyimpulin Albi nggak akan sholat jum'at? Ngerasa paling oke gitu, kalau selama ini cuma Bang Sabda yang rajin ibadah? Sombong."

Dia menutup laptopnya, lalu balas mendongak ke arahku. "Oke, maaf."

Aku mengerjap tak percaya, kakiku sedikit gemetar ketika melihat tatapannya padaku. Bang Sabda nggak biasanya mengalah begitu saja. Aku mengalihkan pandangan ke seluruh ruangan studio lantai tiga kantor Arseri. Sepi, baru ada kami berdua. Tim bandku yang lain masih dalam perjalanan.

Aku kembali duduk menjauh dari posisi Bang Sabda. "Aku bayar Bang Sabda buat ngaturin jadwalku biar balance. Aku nggak mau cuma sibuk jungkir balik kerja, tapi kehilangan waktu bahagiaku buat pacar, temen, atau buat diriku sendiri." Dia cuma diam mendengar semua ocehanku.

Masih sambil terus mengoceh, kubuka ponselku, dan mengatur sejumlah uang untuk kutransfer ke rekening Bang Sabda. "Cek rekening, barusan kutransfer bonus biar Abang lebih bener kerja."

Dia tiba-tiba menatapku dengan mata sedikit berkaca. Dan sekalipun jarak kami duduk terpisah jauh, namun sepinya ruangan saat ini, membuatku bisa mendengar jelas bisikannya. "Udah cukup nyakitinnya."

"What do you mean? Aku baru transfer tiga ratus juta, gimana ceritanya itu nyakitin seseorang?"

"You always like this, ngerendahin aku pakai uang. Ngerasa lebih oke gitu, kalau selama ini kamu lebih kaya dari aku?"

Kalimat terakhirnya memukulku dengan tepat, hatiku seketika dikepung rasa bersalah. Tapi lidahku kelu untuk langsung mengucap maaf. Aku cuma bisa mengamati kepergian Bang Sabda yang membawa tas dan laptopnya.

Beberapa menit kemudian, Bang Sabda mengirim pesan laporan bukti transfer pengembalian uang tiga ratus juta tadi. Aku menelan ludah gelisah, dan terus merutuki kepicikan yang baru saja kulakukan.

Seharian itu berakhir dengan rikuh dan nggak nyaman. "Bang Sabda mana? balik?" Aku bertanya pada Mas Jevan, begitu kembali masuk studio sehabis menunaikan sholat isya' dan nggak menemukan lagi sosok Bang Sabda.

"Iya, ada urusan. Katanya kamu udah tahu mau kemana." Aku cuma mengangguk, pura-pura paham.

Begitu membuka ponselku, ada beberapa pesan dari Bang Sabda.

Bang Sabda : Sorry ya, aku ijin balik dulu. Ada urusan sama Shine Creative buat bahas program podcast kamu. Mungkin bulan depan udah mulai tapping.

Bang Sabda : Aku juga minta maaf sekali lagi, beneran nggak bisa aturin jadwal buat kamis malam.

Bang Sabda : Mungkin kamu bisa bahas lagi sama Albi. Acara hari rabu buat youtube music itu kan ngundang kalian berdua juga. Aku bisa bahas sama Ale buat share backstage.

Bang Sabda : Harusnya bakal aman, dan nggak akan ada yang curiga. Karena kalian satu label. Kamu bisa quality time bentar sambil kerja, lumayan kan. Daripada nggak sama sekali?

SABDA TITAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang