16. Eksplor Hal Baru

811 143 102
                                    

"Maybe i'm losing you, but i found myself."

Aku menyenandungkan beberapa kali kalimat itu, sepertinya masuk untuk dijadikan lirik lagu berikutnya.

Enam bulan setelah penolakan memalukan itu, aku mengubur kegalauan dengan banyak lagu. Meramu musik patah hati mulai dari yang sedih menyayat, sampai yang optimis ceria.

Aku nggak mau melibatkan laki-laki lain sebagai pelarian, pelajaran dari kisahku dengan Bas waktu itu. Jadi kali ini kuhapus rasaku pada Bang Sabda dengan menyibukkan pikiran, serta membangun dinding professional setinggi dan sekokoh mungkin.

Pertama, aku beli mobil sendiri setelah sekian lama terlalu dimanjakan dengan kenyamanan diantar jemput kemana-mana oleh Bang Sabda.

Kedua, aku mulai mengulik hal lain seperti mengambil kelas online bisnis manajemen. Ini penting buat musisi, aku baru melek setelah tahu bagaimana besarnya nama Taylor Swift.

Padahal di Indonesia, mendiang Bung Glenn yang jadi salah satu musisi favoritku, sudah mencontohkannya sejak lama. Soal bagaimana memahami manajemen, hak cipta, dan royalti karya.

Aku berinvestasi cukup besar, pakai tabungan dari honor manggungku selama ini untuk bayar kelas di London School of Business and Finance, di saat teman-temanku yang lain pakai uangnya untuk liburan ke luar negeri, beli rumah, atau tas-tas mahal. Ini keputusan terhebat yang pernah kubuat sejauh ini.

Cinta bertepuk sebelah tangan ke Bang Sabda ternyata nggak akan jadi penyesalan hidup, karena aku jadi lebih keren justru ketika nggak sama dia.

Kututup laptop setelah selesai membuat tugas paper, lalu bergabung dengan Kak Bina dan Kak Mutia di meja sebelah. Kami makan buah sebelum mulai persiapan manggung malam ini.

"Kamu nggak mau isya' dulu Ta sebelum make up?" Kak Mutia buru-buru menyelesaikan sesi ngemil sehat ini. Dia mulai membuka koper andalannya.

"Sholat pas di Kosan aja kak."

"Eh, kamu perasaan sholat terus Ta, belum mens? dua bulan ini aku sama Mutia ngikut kamu full, tapi nggak pernah lihat kamu skip sholat." Kak Bina akhirnya menyadari sesuatu yang juga sedang kukhawatirkan.

"Eng..." Aku menimbang-nimbang sebelum bercerita, kulihat Bang Sabda masih sibuk dengan laptopnya. Dia mungkin nggak akan terlalu menyimak pembicaraan kami.

"Sebenernya aku juga lagi mikirin itu kak. Aku udah lima bulan lebih belum haid."

Kak Bina dan Kak Mutia langsung menghentikan aktivitas menyiapkan baju dan make-up ku. "Ta, nggak papa? nggak sakit?"

"Iya, udah tanyain ke Vera Ta?"

Dua orang perempuan itu bergantian tanya. Muka mereka tampak serius.

"Belum sih kak, kayaknya telat biasa aja nggak sih? wajar kan? siklus haidku soalnya dari dulu nggak gitu lancar."

"Ta, lima bulan itu nggak aman. Periksa yuk Ta, aku temenin." Kak Mutia makin membuatku kepikiran macam-macam.

"Ke Obgyn aja, jangan disepelein." Bang Sabda tiba-tiba memutar kursi ke arah meja kami, matanya menyorot tegas padaku.

Aku, Kak Bina, dan Kak Mutia langsung melotot kaget. Di ruangan ini memang cuma ada kami berempat, tapi saran Bang Sabda barusan benar-benar canggung dan rawan salah paham.

"Kenapa? Gue nggak mikir Titah hamil. Tapi kalau urusan kesehatan reproduksi kan emang mesti ke Obgyn."

Kak Mutia memutar mata kesal. "Lo bisa lebih peka nggak Sab? untung cuma ada kita berempat ya di ruangan ini. Lo itu cowok, saran Lo yang bener bisa diartiin aneh-aneh. Bahasan ini cukup sensitif."

"Otak Lo yang aneh." Bang Sabda berdecak kesal sebelum keluar ruangan. Laki-laki itu mungkin melihatku resah dan nggak nyaman.

"Aku udah tanya Vera, tapi katanya emang lebih baik diperiksa dokter Obgyn yang lebih paham ini. Vera cuma dokter umum, nggak bisa kasih diagnosis tepat." Kak Bina menunjukkan ruang percakapan di ponselnya padaku.

"Aku jadi takut kak."

"Nggakpapa Ta, aku sama Mutia bisa temenin periksa. Ntar aku bikinin janji privat di klinik tempat Vera praktik ya."

"Makasih Kak Bina."

Kak Mutia mengelus lembut punggung serta kepalaku. "Makasih Kak Mut."

***

Bang Sabda : gimana hasil periksanya? apa kata dokternya?

Aku : nggak papa, cuma stress sama capek.

Bang Sabda : mulai besok nggak usah bawa mobil sendiri. aku antar jemput lagi.

Aku : apa ngaruhnya? 😒

Bang Sabda : kamu kan nyetir sendiri enam bulanan ini, itu faktornya. itu bikin kamu lebih stress dan capek.

Aku : nggak usah, aku nggak stress cuma karena ngadepin macet dan capek nyetir.

Bang Sabda : keras kepala!

Aku memasukkan ponsel ke tas setelah membaca balasan terakhir Bang Sabda. Malas menanggapi lebih jauh kalau ujungnya malah debat panjang di chat.

Siang tadi, setelah suntik jerawat di klinik kecantikan langganan, aku menelepon Kak Mutia dan Kak Bina untuk ditemani periksa ke Obgyn. Bang Sabda cuma kukabari singkat, tapi ternyata dia cukup peduli untuk tanya kelanjutan hasilnya.

Seenaknya nyimpulin aku stress gara-gara nyetir dan ngadepin macet.

Nggak sadar apa aku stress karena coba lupain kamu. 

Sabda, aku sampe ribet kuliah online biar nggak mikirin kamu. Tapi gantinya jadi mikirin teori ini itu, tugas ini itu.

Itu yang bikin aku stress.

Nggak usah sok act of service berlebihan yang bikin aku nyaman lagi. Aku udah mulai nerima kenyataan ini pelan-pelan.

Jangan rusak usaha move on ku!

***

Sebagai bentuk apresiasi pada semua pembaca, silahkan request adegan Sabda Titah untuk part selanjutnya.

Aku akan coba realisasikan satu ide tergila yang dikirim di kolom komentar 🙏🙏

Makasih banyak yaaaa, sehat-sehat dan bahagia selalu 💙🌼

SABDA TITAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang