31. WOA vs AOS

231 69 27
                                    

Hujan mengguyur deras tepat ketika mobilku sampai di seberang tenda pecel ayam nggak terlalu jauh dari kantor Arseri. Aku mampir sebelum pulang ke kosan, untuk membeli makan malam yang kuidamkan dari berhari-hari lalu.

Sebungkus nasi putih hangat dengan lauk ayam kampung goreng dan sambal tomat pedas. Perutku sudah berbunyi, dan tenggorokanku berkali-kali menelan liur saat membayangkan enaknya makan pecel ayam.

Sayangnya aku nggak bisa buru-buru turun, karena lupa menyimpan payung di mobil. Bisa aja sebenarnya kalau mau menerabas hujan, tapi aku teringat kalau sedang pakai kaos putih.

Kalau nerabas otomatis kaosku bakal basah, pasti ngejeplak semua nanti.

Mana ya hoodieku?

Aku merasa meninggalkan hoodie di jok belakang, tapi ternyata salah. Saat sibuk memikirkan caranya pesan pecel ayam kesukaanku di warung seberang, atau memilih menyerah pulang dan memesan sembarang pecel ayam di aplikasi online saat sudah sampai kos, aku melihat dua orang itu.

Bang Sabda keluar dengan seorang perempuan dari dalam tenda, tangannya memayungi perempuan itu sampai memasuki mobil. Aku melihat sejelas mungkin wajah Bang Sabda yang tampak bahagia. Padahal posisiku saat ini cukup berjarak dengan mereka, dibatasi kaca mobil dan dibayangi hujan.

Dari sekian banyak kebetulan, ini yang paling nggak kuinginkan. Sekalipun aku sudah bersiap akan kemungkinan ini suatu hari nanti, tapi saat mengalaminya langsung. rasanya aku ingin menghilang dari dunia ini.

Seingatku, sesaat sebelum recording berakhir, aku mendengar Bang Sabda  berkata pada Mas Jevan kalau dia akan langsung pulang ke kosnya. Siapa sangka bahwa dia sempat mampir makan malam dulu dengan pacarnya? Dan kenapa harus makan di warung pecel ayam favoritku?

Aku masih kaku melihat mobil Bang Sabda melewati mobilku begitu saja beberapa menit kemudian, tentu tanpa menyadari keberadaanku. Seluruh tubuhku langsung mendingin, semuanya sakit dari ujung kepala sampai kaki. Mataku perih seperti usai berdiri kehujanan berjam-jam. Aku menumpukan kepalaku di setir mobil dan menangis sampai puas.

Aku udah punya Albi, tapi kenapa rasanya tetep sakit.

Aku udah gila.

Ini jahat buat Albi.

Ini sakit buatku.

Tapi aku harus apa?

Ponselku terus bergetar, nama Albi ada di sana. Aku membiarkan panggilan itu berakhir beberapa kali. Baru kemudian setelah bisa menguasai keadaanku sendiri, aku balas meneleponnya.

"Hai sayang, dari mana?" sapanya lembut.

"Maaf tadi lagi nyetir, aku baru balik dari Arseri. Tadi recording-nya agak lama." Kataku seriang mungkin, berharap semoga Albi nggak menyadari perubahan suaraku.

"Kamu nggak papa? susah ya tadi? ada problem? maaf ya aku nggak bisa ada buat kamu sekarang, karena harus manggung di luar kota." Gagal sudah, Albi bisa menebak dengan mudah, bahwa aku sedang berantakan.

Aku lantas kelepasan menangis di telepon. Albi terus mendengarkan dengan sabar tanpa bertanya ataupun menyela. "Maaf ya, Be." Kataku lemah.

"I wish i could be there Be. Buat peluk kamu."

Kalimat itu kembali membuatku menangis. "Thank you, i'm okay now."

Aku benar-benar jahat, egois.

Albi nggak pantas untukku.

"Be, udah ya. Nanti aku telepon lagi, ini aku mau lanjut jalan balik dulu. Begitu sampai kosan, aku kabari lagi."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 9 hours ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SABDA TITAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang