25

10 2 14
                                    

"Kadang hidup memang gak sesuai rencana, tapi itu bukan alasan buat berhenti berjuang."

- Arsenio Daniel Mahendra




Hari ini adalah hari pertama para siswa kembali ke sekolah setelah liburan panjang. Arsen dan gengnya melaju ke SMA Garuda dengan mobil mewah milik Arsen, sementara sisanya ikut dengan mobil milik Rey. Tak main-main, mobil yang mereka bawa seharga setengah miliar, melaju dengan elegan ke area parkir sekolah yang memang membebaskan siswanya untuk membawa kendaraan pribadi—baik mobil maupun motor.

Begitu keluar dari mobil, Arsen dan teman-temannya langsung menjadi pusat perhatian. Seragam mereka yang sedikit berantakan, dengan rambut yang acak-acakan dan gaya yang terkesan santai, justru semakin menonjolkan pesona mereka. Para siswi yang berada di sekitar pun tidak bisa menahan tatapan mereka, bisikan-bisikan mulai terdengar, dan semua mata terfokus pada mereka, terutama Arsen yang selalu tahu bagaimana cara membuat dunia seolah berhenti sejenak saat ia hadir.

"Ganteng bangett!!"

"Semuanya ganteng omaygat, gue pilih yang mana ya?!"

"Mau pingsan, gak nyangka hari pertama udah cuci mata gue!"

Sorakan dan bisikan para siswi mengiringi langkah Arsen dan gengnya saat mereka berjalan menuju lobby sekolah. SMA Garuda memang terkenal sebagai tempat bagi mereka yang ingin merasakan kehidupan mewah dan penuh privilese, sebuah sekolah elit yang tak jarang dipenuhi dengan anak-anak orang kaya. Arsen tahu betul apa yang dipikirkan para siswi itu—mereka melihatnya sebagai sosok yang sempurna, mungkin karena mobil mewah yang ia bawa, atau karena pesona yang ia keluarkan.

Namun, di balik tatapan kagum itu, Arsen hanya bisa merasa hampa. Sekolah ini bukan pilihannya. Semua yang ada dalam hidupnya sudah direncanakan, diatur oleh sang ayah yang tak pernah lelah menekan dan membentuk hidupnya sesuai dengan harapan. Segala sesuatu sudah tertata rapi—dari sekolah yang harus dia masuki, hingga arah hidup yang harus dia jalani.

"Ini pilihan Papa, bukan gue," pikir Arsen dengan cemas. "Gue cuma pengen hidup bebas, tanpa harus selalu diatur. Tapi bagaimana bisa? Kalau Papa udah memutuskan, gue harus ikut."

Dengan langkah yang sedikit malas, ia melanjutkan perjalanan ke dalam sekolah, berusaha menahan rasa jenuh yang sudah menghantuinya sejak lama. Apa yang ada di depannya sekarang hanyalah rutinitas yang tak bisa ia hindari—sebuah hidup yang tampaknya sudah ditentukan untuknya.

Padahal, jauh di dalam hati, Arsen tahu keinginan terbesarnya adalah berada di tempat yang sama dengan Keyla. Gadis itu, yang kini bersekolah di SMA Nusa Bakti, sekolah elit nomor dua di kota ini, selalu menjadi perhatian Arsen. Dia ingin sekali bisa berada di sana, di sekolah yang lebih bebas, jauh dari tekanan yang selalu menghimpitnya di SMA Garuda.

Namun kenyataannya jauh berbeda. Dia dipaksa untuk masuk ke sekolah elit nomor satu, tempat di mana segalanya sudah diatur dengan rapi, tempat yang diinginkan semua orang karena reputasinya yang sangat prestisius. Tetapi, satu hal yang sangat menyakitkan—di sekolah ini, dia tak bisa satu sekolah dengan Keyla. Dan itu menjadi sebuah luka yang tak kunjung sembuh, sebuah kenyataan pahit yang selalu menghantui setiap langkahnya.

"Gue capek, tapi gue nggak bisa nolak." Arsen menghembuskan napas panjang, sesaat sebelum langkah kakinya mulai melangkah cepat, tanpa sadar meninggalkan para gengnya yang masih berjalan di belakang.

Prita dan Glen saling pandang, ekspresi bingung jelas terlukis di wajah mereka. Mereka berdua kemudian menatap Mahen dan Rey, berharap ada penjelasan. Mereka berempat melanjutkan langkah mereka, namun tetap terbelenggu dengan rasa penasaran yang sama: ada apa dengan Arsen? Apa yang sedang dia pikirkan, dan kenapa pagi ini tiba-tiba terlihat berbeda?

CARAPHERNELIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang