"Dan dia tidur sekamar dengan ku? Ya tuhan, aku masih utuh, kan?" Grina raba-raba tubuhnya dan dilanjut menatap pantulannya di cermin dari atas sampai bawah. Jujur, Grina jijik jika memikirkan hal-hal yang negatif itu.
Tidak ini bukan bercanda atau...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Hai, bolehkah aku minta untuk tekankan tanda bintang di pojok kiri bawah? Terima kasih 💋
SORRY FOR TYPO 🤍 •••
Inti pembicaraan mereka adalah Meca yang memberi tahu bahwa bos-nya, Si Grina sedang terpuruk, tak mau diganggu, diusik, bahkan untuk sekedar makan atau minum saja dia tak mau. Sungguh memprihatinkan bagaimana keadaan Grina di bayang-bayang Darka setelah mendengar kabar itu.
Ini mansion yang cukup besar, bahkan sangat besar. Namun, kini Grina di sini hanya bersama para pelayan dan penjaga, tidak ada lagi ayahnya yang akan berkunjung kemari. Mansion miliknya sangat sepi, berbeda dengan kediaman milik ayahnya yang kini ditempati oleh Alme dan Neano.
Se-berpengaruh itukah kematian Wrima Lok Gehka untuk Grina? Bodoh. Padahal pria itulah yang mempergunakannya sebagai kaki tangan. Jika, tujuannya sudah tercapai, dia akan dibuang secara mentah-mentah.
Itu isi pikiran Darka yang sibuk merutuki kebodohan Grina yang tidak berpikir kritis, sama sekali tidak mempertimbangkan dan meneliti keadaan yang jelas-jelas memiliki banyak keanehan.
"Active, persistent, carefulconsideration of a belief or supposed form of knowledge in light of the grounds that support it and the furtherconclusions to which ittends." Darka bersuara, dia berjalan mendekat pada gadis yang duduk di kursi panjang taman halaman kediaman Grina.
Tak berminat menoleh, tak berminat mengoceh, serta tak berminat untuk merespon. Grina hanya diam, duduk dengan tenang, menatap kolam ikan hias yang dindingnya terbuat dari kaca tembus pandang. Indah dan menenangkan melihat kolam bercahaya juga ikan-ikan yang berenang kesana kemari di dalamnya.
Darka berdiri di depan gadis yang memakai piyama panjang itu. Otomatis penglihatan Grina menangkap wujud pria bercelana jeans dan kaus abu-abu yang dimasukan ke celana dengan rapi. Kaus itu tidak ketat, tapi tubuh kekar berotot milik Darka tercetak di kaus itu.
"Filsuf John Dewey, yang sering dianggap sebagai bapak pemikiran kritis modern, mendefinisikan pemikiran kritis seperti yang aku katakan tadi, dan kau harus menerapkannya," ujar Darka, dia akhirnya mendapat perhatian dari Grina karena ujarannya ini.
Matanya melebar singkat saat melihat mata sembab milik gadis itu. Ini kali pertama dia melihat Grina menangis setelah sepuluh tahun lalu dia melihat gadis itu menangis hingga mengamuk.
"Bunganya cantik," ucapan itu spontan keluar seiring dengan senyum tipis yang tertarik mengembang. Suara serak Grina cukup memperjelas, bagaimana dirinya saat menangis beberapa waktu lalu.
"Seperti pemiliknya, Grina Rimy Tidra." Darka mengulurkan tangannya, memberikan buket bunga berukuran besar itu.
Seusai mendengar nama paling belakang yang disebutkan oleh Darka. Senyum tipis di bibirnya hilang bak abu yang tertiup angin. Perasaan gadis itu mulai tak karuan kembali. Dirinya tak suka, dirinya tak terima, dan dirinya benci semua yang bersangkutan dengan hari ini.