77

1.8K 265 41
                                    

Typo 🙏
Happy Reading...!!!










Sejak tadi Gita gelisah. Perasaan yang sebelumnya tidak pernah ia rasakan. Jantungnya berdegup cukup cepat, dadanya terasa sesak seperti terikat. Sesaat ia menyandarkan tubuhnya di kursi dan meluruskan kakinya. Lelah karena bekerja? Gita rasa bukan itu faktornya. Karena dia sudah biasa bekerja lembur.

Dey yang berada di samping Gita menghentikan pekerjaannya. "Lo gak papa Git?"

Gita terlihat memejamkan matanya, bahunya naik turun. Mengatur napas. Tangan kirinya perlahan mengusap dada. Sesak itu sepertinya semakin menghimpit dadanya.

Gita tak kunjung menjawab. Karena khawatir, Dey bangkit dari duduknya dan mendekati Gita. "Git?" serunya lagi.

"Dada gue sakit Dey." ringis Gita.

"Lo sakit? Gue kasih tau Bu Henny ya biar lo bisa pulang." kata Dey yang sesekali memijat bahu Gita.

"Kerjaan gue masih banyak Dey. Besok Pak Martin minta laporannya dan gue harus beresin hari ini juga." kata Gita yang mulai kembali menaruh jemarinya diatas keyboard. Memaksakan diri, itulah yang ia lakukan.

"Git, kalo lo sakit jangan maksain. Nanti tambah parah."

Gita merasakan sakitnya semakin bertambah. "Sshhh...."

"Tuh kan! Udah gue bilang lo pulang aja. Tunggu, gue kasih tau Bu Henny dulu." ujar Dey yang langsung berlari kecil menuju ruangan kepala divisi.

"Gue kenapa? Gue gak boleh sakit." gumam Gita pelan. Setelah mengatur napasnya beberapa kali, namun rasa sakit itu tak kunjung hilang. Gita dibuat bingung, sebenarnya apa yang terjadi pada dirinya.

Angannya melambung jauh, jika ia sakit siapa yang akan menjadi tempat berkeluh kesah sang mami. Dan Chika? Bagaimana jika keponakannya itu tau reaksi apa yang akan dia berikan. Sungguh Gita tidak ingin membuat siapapun khawatir.

Berharap ini hanya sakit biasa karena terlalu banyak beban pikiran tentang semua hal yang terjadi.

Tanpa sadar airmatanya lolos begitu saja. Sakit dihatinya melebihi rasa sakit fisik yang ia rasakan.

Saat melihat kedatangan Dey, Gita segera menghapus airmatanya. Walaupun Dey sahabat dekatnya, tapi disaat seperti ini Gita rasa tidak harus menambah khawatir sahabatnya itu.

"Git, kata Bu Henny lo boleh pulang."

"Terus ini kerjaan gue gimana Dey?" lirih Gita. Sebagian tenaganya seperti hilang.

"Lo gak usah mikirin itu, nanti kalo kerjaan gue udah beres gue lanjutin kerjaan lo." balas Dey. Ekspresi panik tidak bisa ia sembunyikan lagi. Karena ia tau betapa lelahnya menjadi Gita.

"Tapi Dey, gue gak enak sama lo."

"Yaelah... Lo kaya sama orang laen aja. Gue ini sahabat lo Git."

"Beneran gak papa?"

"Iya gak papa, lo sekarang pulang ya." titah Dey, tangannya tak henti mengelus pundak Gita. "Atau mau gue anterin ke rumah sakit?"

"Gak usah, nanti gue istirahat juga mendingan ko. Sorry ya Dey, gue jadi ngerepotin lo."

"Ck! Udah sana pulang. Ati-ati lo di jalannya. Gue anterin sampe depan." ujar Dey yang mulai merengkuh tubuh Gita.

"Makasih ya."

Beruntung bisa memiliki sahabat seperti Dey. Sahabatnya itu tau  permasalahan keluarga yang Gita alami. Meskipun tidak semua hal Gita ceritakan, setidaknya dapat mengurangi beban pikirannya.

Jika bercerita pada sang mami, sama saja dengan Gita menambah beban pikiran untuknya. Semua mempunyai luka masing-masing. Dan menyembunyikan luka itu dibalik kata "baik-baik saja dan senyum kepalsuan."



Bersama [Greshan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang