Chapter 17

225 25 2
                                    

Rumah yang kata sebagian orang adalah tempat ternyaman, tempat istirahat dan tempat mengadu apabila dikelilingi oleh orang-orang yang disayangi.

Namun, jika penghuni rumah itu sendiri yang menyakiti apakah masih bisa disebut rumah untuk pulang?

Ada banyak orang yang meminta ketenangan hidup atau bahkan yang paling kejam ialah mereka meminta kematian. Banyak sekali orang yang tidak mengerti akan hal ini, padahal orang-orang yang sering berteriak seperti itu adalah orang-orang yang paling menginginkan kehidupan. kehidupan yang tenang tanpa adanya cacian dan makian.

Di tengah riuhnya kota dan bisingnya kendaraan Salsa menatap kosong ke arah rumahnya, dulu rumah yang selalu membuatnya ceria dan penuh kebahagiaan.

Salsa baru saja pulang kerja part time, yang baru-baru ini dijalani, dia mengetuk pintu rumahnya pelan. Namun, tak ada sautan sama sekali.

"Hebat ya, darimana aja anak gadis manis?" Tanya Hendra Ayahnya Salsa dengan tajam.

"Kerja, Yah." Jawabnya.

"Jadi uang yang dikasih Ayah selama ini kurang? Kamu kemanain?"

"Uang? Ayah lupa, udah hampir dua bulan ini Ayah gak kasih aku uang."

Hendra terdiam mendengar ucapan Salsa, dirinya hampir lupa bahwa anak bungsunya ini gak pernah lagi dia kasih uang karena terlalu mengurusi hidup Bella.

"Lo aja yang boros, masa baru dua bulan udah habis uang selama ini yang Ayah kasih," celetuk pedas Bella yang baru menuruni tangga.

"Lo ada masalah apa sih sama gue?" Tanya Salsa.

"Nggak ada tuh, lo kali yang punya masalah sama gue secara 'kan cowok lo jadi suami gue," jawab Bella dengan memainkan rambutnya.

"Ambil, gak butuh gue."

"Jaga ucapan kamu Salsa, Bella kakak kamu." Ucap Dina, Bundanya.

Salsa tertawa sumbang. "Oke. Tapi, yang harus Ayah Bunda tahu, aku kangen, kangen sebelum hari ulang tahun aku kemarin."

"Sa..." Panggil Hendra.

Salsa tak menanggapinya dia langsung naik ke lantai dua menuju kamarnya.

Salsa menatap pantulan wajahnya di cermin kamarnya dan tersenyum paksa. "Aku berhutang ribuan maaf sama kamu."

•••

Aqeela dan keluarga sedang bersantai di ruang tengah.

"Qeela, boleh Papa ngobrol sama kamu?" Tanyanya.

"Boleh dong, Pa. Ini 'kan kita lagi ngobrol,"

"Papa lihat akhir-akhir ini anak Papa sering senyum-senyum, cerita dong sama Papa, Mama juga pasti penasaran 'kan?"

Dewi menganggukkan kepalanya. "Bener yang di bilang Papa,"

"Aqeela masih inget kejadian di sekolah tadi lucu. Tapi, aneh gitu. Mohan dikasih bekal sama cewek sekelasnya gitu, Ma, Pa, padahal dia ada cowok 'kan aneh. Yang lucunya tuh gini depan tuh cewek dia gak makan bekalnya sama sekali malah makan, makanan punya aku." Cerocos Aqeela.

Hendra memegang dagunya pelan dan berpikir. "Wah... Feeling Papa sih cewek itu suka sama Mohan,"

"Yang bener, Pa?" Tanya Aqeela cepat.

"Hm, pasti itu."

"Dia sore tadi kerumah, Pa. Katanya mau minta maaf sih,"

"Minta maaf karena apa? Ada kejadian di puncak kemarin?" Tebak Dewi.

Aqeela meringis. "Iya, dia ngatain Aqeela cewek gak bener, sore tadi dia curhat katanya di teror sama orang, aneh banget."

"Oh, bagus itu, Qeel." Ucap Hendra.

"Kok bagus sih, Pa. Dia ngatain anak kita loh..." Kesal Dewi.

"Itu ibaratkan, gak perlu ngotorin tangan."

"Terserah Papa," ucap Dewi.

"Jadi intinya anak Papa ini bahagia gara-gara Mohan nolak pemberian cewek lain?" Tebaknya.

"Gak di tolak sih, Pa. Cuma gak di makan,"

"Aqeela, sebuah kota akan menjadi istimewa bagimu, jika kamu mencintai salah satu penduduknya."

"Papa..." Aqeela menghampiri Hendra dan memeluknya.

Dewi mengusap rambut Aqeela pelan. "Lucunya anak Mama."

"Aqeela, masih inget pesan Papa 'kan?" Tanyanya.

"Always, Pa. Jangan pernah tinggalin shalat, Aqeela inget terus kok."

"Jangan pernah goyah." Ucap Hendra menatap kedua binar mata Aqeela.

•••

Nyambung ga yaa?

Lumayan bingung huhuu

Terimakasih yang udah baca, hargai aku yaa jangan lupa di vote, itu gratis!!!

See you🫶



Be Loved! [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang